Minggu, 18 Desember 2011

Tinjauan Fiqih Siyasah tentang Indonesia Masa Kemerdekaan










 





Makalah Disusun sebagai Salah Satu Penilaian pada Perkuliahan
FIKIH SIYASAH
Dosen : DR. KOSIM RUSYDI, M.A
 
Syari’ah/AAS/Smt VII
IAIN SYEKH NURDJATI
CIREBON 2008



BAB I
PENDAHULUAN

A. SEKILAS TENTANG ISLAM DAN NEGARA
Persoalan politik Islam tidak bisa dilepaskan dari sejarah Islam yang multi Interpretatif. Pada satu sisi, hampir setiap orang islam percaya terhadap pentingnya prinsip -prinsip Islam dalam kehidupan politik, sementara pada sisi yang lain, karena sifat islam yang multi interpretatif tersebut, tidak ada pandangan yang monolitik mengenai bagaimana seharusnya Islam dan politik diposisikan secara tepat, yang muncul dari persoalan tersebut justru pendapat yang sangat beragam. Beberapa Intelektual muslim seperti Jamaludin Al Afgani (1838-1897M), Muhammad Abduh (1862 - 1896, Rasyid Ridho (1865-1883 M), Ali Abdul Razik (1888-1966 M), Al Mawardi (975 -1059 M), Ibn Taimiyah (1262-1328 M), AL Maududi (975-1059 M), dan Al Farabi (870-950 M) telah berusahan untuk memberikan pandangannya terhadap persoalan diatas dari perspektif masing-masing. Teori-teori tersebut secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga paradigma mengenai konsepsi negara dalam Islam :
1. Paradigma Integratif
Dalam pandangan integralistik, agama dan negara menyatu (integral) Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan berpolitik dan bernegara. Oleh karena itu dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam dan tidak perlu meniru sistem ketatanegaran barat. Adapun sistem ketatanegaraan politik Islam yang harus diteladani adalah sistem yang dilaksanakan oleh nabi Muhammad dan empat khulafaur rasyidin. Dalam perspektif paradigma integralistik kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan politik. Pemerintahan dilaksanakan atas dasar kedaulatan Ilahi, karena pendukung ini meyakini bahwa kedaulatan berasal dan berada “ditangan Tuhan”, dengan demikian pemberlakuan dan penerapan hukum Islam sebagai hukum positif negara, sebagaimana dekemukakan oleh Imam Khomaeni sebagai salah seorang tokoh pendukung paradigma ini yang dikutip oleh Marzuki wahid dan rumadi (2001: 24) menyatakan bahwa “Dalam negara Islam wewenang menetapkan hukum berada pada Tuhan, tiada seorangpun berhak menetapkan hukum dan yang boleh berlaku hanyalah hukum dari Tuhan”
Paradigma inilah yang kemudian melahirkan paham negara agama, dimana kehidupan keagamaan diatur dengan menggunakan prinsi-prinsip keagamaan, sehingga melahirkan konsep Islam agama dan negara. Sumber hukum positifnya adalah hukum agama, masyarakat tidak bias membedakan mana aturan negara dan mana aturan agama karena keduanya menyatu. Oleh karena itu dalam paham ini rakyat yang menaati segala ketentuan negara berati ia taat kepada agama, sebaliknya melawan negara berarti melawan agama yang berarti juga menentang Tuhan[1]
2. Paradigma Simbiotik
Agama dan Negara, menurut paradigma ini memiliki hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini, agama memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat berkembang, sebaliknya negara juga memerlukan agama karena dengan agama Negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral spiritual.
Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktivitas yang berbeda, namun mempunyai hubungan secara simbiotik.
Dalam kerangka hubungan simbiotik ini, Ibn Taimiyah dalam As siyasah asy syar’iyyah sebagaimana dikutip Wahid dan rumadi[2] menyatakan “sesungguhnya adanya kekuasaan yang mengatur urusan manusia merupakan kewajiban agama yang terbesar sebab tanpa kekuasaan negara agama tidak bisa berdiri tegak”. Dalam konsep ini, Syariah (hukum Islam) menempati posisi sentral sebagai sumber legitimasi terhadap realitas politik. Demikian juga Negara mempunyai peranan yang besar untuk menegakkan hukum Islam. Dengan demikian tampak adanya kehendak untuk mewarnai hukum-hukum negara dengan hukum agama bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa hukum agama dijadikan sebagai hukum negara. Hal ini bisa saja terjadi karena sifat simbiotik antara agama dan negara mempunyai tingkat dan kualitas yang berbeda-beda.
3. Paradigma Sekuler
Paradigma ini memisahkan antara agama dan negara sehingga negara tidak menjadikan agama sebagai instrumen tertentu. Dalam konteks Islam pandangan ini menolak intervensi Islam pada masalah politik dan kenegaran. Menurut pandangan ini nabi Muhammad hanyalah seorang rasul biasa sebagaimana rasul-rasul terdahulu, dengan tugas hanya untuk mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang baik melalui perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Nabi Muhammad menurut pendapat ini tidak pernah bertugas untuk mendirikan dan mengepalai suatu negara. Salah satu tokoh paradigma sekularistik adalah Ali Abd Ar Raziq sebagaimana yang dikutip oleh Wahid,[3] Islam tidak menetapkan suatu rezim pemerintah tertentu, tidak pula mendasarkan kepada kaum muslimin suatu sistem pemerintahan tertentu lewat mana mereka harus diperintah, tapi Islam telah memberikan kita kebebasan mutlak untuk mengorganisasikan Negara sesuai dengan kondisi-kondisi intelektual, sosial, dan ekonomi yang kita miliki dan dengan mempertimbangkan perkembangan sosial dan tuntutan zaman.
Agama adalah urusan pribadi para pemeluknya yang tidak ada sangkut pautnya dengan negara. Dengan demikian sebuah negara dapat dikatakan sekuler jika negara tersebut tidak menjadikan kitab suci sebagai dasar konstitusi dan tidak menjadikan hukum agama sebagai hukum nasional, atas dasar tersebut semua agama memiliki peran yang sama dalam negara.

















BAB II
PEMBAHASAN


A. Politik Islam masa Pra Kemerdekaan
Pada masa kemunduran Islam, Umat Islam malah hampir tidak memiliki negara karena kebanyakan bangsa muslim ketika itu berada dibawah penjajahan bangsa-bangsa barat seperti Inggris, Portugis, Spanyol dan Belanda. Akan tetapi keinginan untuk mendirikan sebuah negeri sendiri tetap ada, karena itu kita lihat dalam sejarah, umat Islam melakukan perlawanan untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa-bangsa barat. Demikian pula perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam dalam menentang kolonialisme Belanda. Kehadiran bangsa-bangsa Asing di wilayah Indonesia menimbulkan dampak besar bagi kekuatan Islam yang diwakili oleh kerajaan-kerajaan Islam nusantara menghadapi kekuatan asing (barat) tidak dapat dihindarkan. Dari berbagai konfrontasi itu secara keseluruhan kerajaan-kerajaan Islam nusantara dapat dikalahkan sehingga secara sistematis mengalami deligitimasi politik yang berakhir dengan dijajahnya sebagaian besar wilayah Nusantara. Menghadapi realitas ini kekuatan umat Islam yang telah mulai menurun pengaruhnya, kembali meningkat meskipun secara perlahan-lahan dengan menjadikan Islam sebagai ideologi perjuangan. Menurut Taufik Abdullah Ideologisasi Islam tersebut memiliki Tiga fungsi yaitu pertama, Islam adalah dasar kesadaran yang membentuk etos dan pandangan hidup kedua, Islam sebagai dasar ikatan - ikatan solidaritas para pemeluknya ketiga, sebagai agama universal, Islam bersifat kosmopolitan. Ideologisasi Islam sebagai kekuatan pembebas terhadap kolonialisme Belanda di Indonesia tersebut diantaranya adalah Perang Padri (182-1837) di Sumatra Barat, Pangeran Diponegoro (1825-1830) di Jawa Tengah dan yang terlama serta paling kejam ialah perang Aceh (1875-1912).
Jadi Sistem politik yang berkembang pada masa itu adalah sistem politik yang dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam sebagai sebuah keyakinan akan kebenaran yang hakiki dan pemberi legitimasi dalam perjuangannya.
Berdasarkan hal tersebut maka tidak mengherankan apabila politik Belanda pada masa itu selalu diwarnai oleh kecurigaan, kewaspadaaan dan ketakutan terhadap segala sesuatu yang berbau Islam, sehingga melakukan kebijakan yang sangat membatasi ruang gerak umat Islam. Pendekatan yang Islamophobia ini mengalami perubahan ketika Snouk Hurgronye menjadi penasehat kerajaan Belanda dengan membuat rekomendasi sebagai dasar kebijakan pemerintah Hindia Belanda yakni melakukan stabilitas keamanan dan menarik hati rakyat Indonesia dengan mendirikan sekolah-sekolah modern. Menurut pemerintah Belanda, Produk lembaga pendidikan ini adalah menciptakan pegawai negeri dengan tugas membantu Belanda dalam mensosialisasikan nilai-nilai Barat. Hal ini menurut Hurgronye sebagai langkah yang paling efektif mengurangi dan pada akhirnya menghilangkan pengaruh Islam Indonesia. Akan tetapi kebijakan ini menjadi boomerang karena lembaga pendidikan tersebut melahirkan tokoh-tokoh yang memegang peranan penting dalam pergerakan nasional Indonesia. Pada masa penjajahan Belanda ini pula muncul berbagai organisasi Islam yang sangat berpengaruh seperti Sarekat Islam (SI), Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), Persatuan Islam (Persis), Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU).[4]
Berbeda dengan Belanda yang menerapkan politik netral agama, menjelang perang Dunia II, Jepang menarik umat Islam di Indonesia dengan slogan anti Barat yang diharapkan dapat memberikan dukungan politik terhadap Jepang dalam perang Dunia II. Menurut Harry J. Benda perbedaan pola kebijakan Belanda dan Jepang terhadap umat Islam disebabkan oleh :
Pertama, yang menjadi sandaran politik kolonial Belanda kaum priyayi, sedangkan Jepang adalah golongan Islam dan nasionalis sekuler
Kedua, yang menjadi juru bicara pergerakan Nasional Belanda adalah pemimpin nasionalis sekuler sedangkan Jepang adalah Islam ketiga, Pemerintah Belanda cenderung tidak pernah memberikan kesempatan kepada golongan Islam sedangkan pemerintah Pendudukan Jepang justru sebaliknya. Akomodasi politik Islam pada masa Pendudukan Jepang didasarkan pada pertimbangan bahwa para ulama dan pemimpin Islam yang lain tidak saja dipandang Jepang sebagai pemimpin formal, tapi juga sebagai tokoh- tokoh masyarakat mayoritas Islam yang sangat berpengaruh[5]
Hal ini merupakan sebuah bentuk pengakuan terhadap peran pemimpin informal dibandingkan dengan pemimpin formal karena jumlahnya sangat besar dan mampu menggerakkan para pengikutnya dalam waktu singkat guna menghadapi perang dunia II. Salah satu bentuk perhatian Jepang terhadap golongan Islam ini adalah pemberian prioritas untuk mendirikan organisasi-organisasi Islam, yakni pada tanggal 10 september 1943 Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah di sahkan kembali mejadi organisasi Islam yang diakui oleh pemerintah pendudukan Jepang, disusul dengan persyarikatan umat Islam dan Persatuan Umat Islam. Bahkan sebagai pengganti MIAI yang dibubarkan pada tahun 1943 yang dinilai anti Jepang,
Pemerintah Jepang mengizinkan pendirian organisasi gabungan dengan nama Masyumi (majelis Syuro Muslimin Indonesia) dengan pendukung utama Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama[6] Janji kemerdekaan dalam waktu dekat yang diucapkan oleh perdana menteri Kuniaki Koiso didepan parlemen Jepang pada tanggal 7 September 1944 diambil oleh Jepang karena semakin terdesak dalam perang Pasifik.
B. Sekilas tentang kondisi sosial politik negara pada masa kemerdekaan
Pasca pengakuan kedaulatan, bangsa Indonesia mengalami permasalahanekonomi yang sangat kompleks. Misalnya inflasi tinggi, rusaknya infrastruktur,hutang negara meningkat, defisit anggaran, rendahnya investasi, dan lainsebagainya.
Langkah yang diambil pemerintah Indonesia dalam mengatasi masalahekonomi pasca pengakuan kedaulatan, antara lain kebijakan pemotonganuang, konsep ekonomi nasional, program gerakan benteng, kebijakanIndonesianisasi, dan lain-lain.
Di bidang politik, sesuai dengan isi UUDS 1950, maka Indonesia menerapkan Demokrasi Liberal dengan sistem kabinet parlementer. Akibatnya muncul banyak partai politik. Di sisi lain sistem pemerintahan tidak stabil karenasering terjadi pergantian kabinet. Beberapa kabinet yang memerintah padamasa Demokrasi Liberal antara lain Kabinet Natsir, Sukiman, Wilopo, AliSastroamijoyo I, Burhanudin Harahap, Ali Sastroamijoyo II, dan Djuanda.
Pemilu tahun 1955 dilaksanakan dua tahap, yaitu 29 September 1955 untukmemilih anggota DPR dan tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggotakonstituante. Pemilu ini ternyata tidak mampu menciptakan stabilitas politik.
Konstituante yang diharapkan mampu menghasilkan UUD ternyata gagal,sehingga tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presidenyang membubarkan Konstituante, menyatakan kembali ke UUD 1945, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Keluarnya Dekrit Presiden menjadi tonggak lahirnya Demokrasi Terpimpin.
Pada masa Demokrasi Terpimpin terjadi beberapa penyimpangan terhadap Pancasila, dan UUD 1945 termasuk kebijakan politik luar negeri. Pembubaran DPR hasil pemilu, pengangkatan presiden seumur hidup, terbentuknya poros Jakarta-Peking, konfrontasi dengan Malaysia, sampai keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB merupakan sejumlah contoh dari penyimpangan tersebut.
C. Politik Islam dalam pembentukkan Negara pada Masa Kemerdekaan
Sebagai realisasinya maka dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 9 April 1944. Dalam pembahasan mengenai dasar negara Indonesia merdeka terdapat dua golongan yang saling bertentangan yakni golongan Islam dan nasionalis Sekuler. Salah satu kepentingan umat Islam ketika itu adalah menjadikan Islam sebagai dasar negara. Tuntutan ini menimbulkan reaksi dari kelompok nasionalis sekuler, sosialis, dan nasrni yang pada masa itu merupakan mayoritas dalam BPUPKI. Kelompok tersebut mengajukan pancasila sebagai dasar negara. untuk mengatasi permasalahan ini dibentuklah “Panitia Sembilan”. Panitia ini terdiri atas lima orang dari golongan nasionalis sekuler dan empat orang dari golongan Islam. Berdasarkan keputusan dari “Panitia Sembilan” pada tanggal 22 Juni 1945 dicapai kesepakatan menambah tujuh kata dalam sila pertama pancasila menjadi “ Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Konsep ini kemudian disebut Piagam Jakarta. Piagam ini adalah sebuah kompromi politis ideologis antara golongan yang beraspirasi Islam dan kelompok nasionalis yang sebagian besar juga beragama Islam, akan tetapi menolak ide negara berdasarkan Islam.
Meskipun demikian UUD 1945 yang disyahkan sehari setelah proklamasi kemerdekaan ternyata menghapuskan tujuh kata dalam piagam Jakarta diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa dan menetapkan pencasila sebagai dasar Negara. Umat Islam terpaksa mengalah dengan tuntutan kelompok pendukung Pencasila. Perubahan ini dipandang oleh sebagian orang sebagai kekalahan politik wakil-wakil umat Islam[7] Pada era pasca kemerdekaa harapan untuk semakin berperan dalam politik tetap ada. Sarana perjuangan politik yang paling utama di era ini adalah melalui partai Masyumi, yang mewadahi dua kelompok besar, yaitu kelompok tradisional dan kelompok modernis. Di era Demokrasi Liberal (1945-1959) peran partai Masyumi cukup menggembirakan. Tetapi partai ini pecah menjadi dua setelah Nahdlatul Ulama (NU) yang pada awalnya merupakan sebuah organisasi keagamaan keluar dari masyumi dan membentuk partai baru pada tahun 1952. Pemilu pertama tahun 1955 yang dilaksanakan selama dua kali. Pertama, pada 29 September 1955 untuk memilih anggota-anggota DPR sedang yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Pemilu tahun 55 ini telah menghasilkan empat parta besar pemenang pemilu yaitu PNI, Masyumi, NU dan PKI.
Setelah pemilu tahun 1955 selesai, terjadi perkembangan politik yang cukup menarik. Pertentangan antara kelompok Islam dengan kelompok nasionalis sekuler mulai terlihat dalam majelis konstituante yang membahas tentang rancangan UUD perihal dasar negara yang akan digunakan. Pada saat itu ada tiga rancangan dasar negara yaitu Islam, Pancasila dan Sosial-ekonomi. Rancangan tentang sosial-ekonomi yang diajukan oleh partai buruh dan Murba hanya didukung oleh sebagian kecil anggota Majelis Konstituante sehingga akhirnya perdebatan didominasi antara golongan Islam dan Nasionalis sekuler yang mengajukan Pancasila sebagai dasar negara. Perdebatan tentang dasar negara ini berakhir setelah Bung karno membubarkan Majelis Konstituante dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 juli 1959 dan menyerukan kembali pada UUD 1945 dengan tetap berdasarkan pancasila.[8] Suasana diatas setidaknya menggambarkan dinamika pemikiran politik pasca kemerdekaan berkenaan dengan upaya untuk merumuskan kembali hubungan antara agama (Islam) dan Negara yang dapat diterima secara luas oleh bangsa Indonesia. Dalam beberapa peristiwa politik tampak bahwa upaya untuk membangun hubungan formalistik dan Legalistik antara Islam dan sistem politik negara selalu berujung pada kebuntuan dan pertentangan ideologis antara dua kelompok pemikiran politik di kalangan aktivis politik muslim yakni kelompok Islam dan kelompok nasionalis sekuler. Kelompok pertama menuntut dijadikannya Islam sebagai dasar negara sedangkan kelompok kedua menolak hubungan agama dan negara yang bersifat formalistik dan legalistik seperti yang dituntut oleh kelompok Islam.
Berdasarkan pengalaman sejarah umat Islam tersebut sejumlah tokoh dan ilmuwan muslim telah berusaha untuk merumuskan konsep-konsep dasar mengenai negara Islam Dalam perdebatan mengenai dasar negara tersebut. Menurut Mohammad Natsir Islam bukan semata -mata religi, yaitu agama dalam pengertian ruhaniah saja. Islam mengatur hubungan antara manusia dengan Allah dan antara sesame manusia. Islam merupakan pedoman dan falsafah hidup yang tidak mengenal pemisahan agama dan politik [9]
Kita mengakui bahwa dalam Islam tidak ada perintah untuk mendirikan suatu negara Islam oleh Rasulullah. Namun demikan ia juga menyatakan penolakannya terhadap gagasan sekularissi dengan menegaskan bahwa faham sekularisasi tidak sejalan dengan jalan pikiran bangsa kita yang beragama.
Pakistan jelas merupakan suatu negara Islam baik dilihat dari penduduknya (yang beragama Islam) maupun karena pilihannya untuk menyatakan Islam sebagai agama negara. Demikian pula Indonesia adalah suatu negara Islam dengan (adanya) kenyataan bahwa Islam diakui sebagai agama bagi rakyat Indonesia, meskipun dalam Undang-Undang Dasar (RI) tidak dinyatakan sebagai agama negara, tetapi Indonesia tidak memisahkan agama dari kenegaraan. Indonesia menempatkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dari Pancasila yang dianut sebagai landasan rohani, moral dan etika bagi negara dan bangsa, dengan demikian maka di (kedua) negara dan rakyat kita Islam menduduki tempat yang sngat esensial dalam kehidupan kita, hal mana tidak berarti bahwa sistem Negara kita itu teokrasi). (Sjadzali, 1990: 194)
Lebih lanjut, ketika membandingkan tiap sila dari Pancasila dengan ajaran AL Qur’an, dalam tulisannya di majalah Hikmah, tanggal 29 Mei 1954 sebagaimana yang dikutip oleh Deliar Noer, dengan retorik Mohammad Natsir bertanya bagaimana mungkin Qur’an:
1. …yang memancarkan tauhid, dapat apriori bertentangan dengan ide Ketuhanan Yang Maha Esa ?
2. …yang ajaran-ajarannya penuh dengan kewajiban menegakkan adalah ijtima’iyah bisa apriori bertentangan dengan keadilan Sosial ?
3. …yang justru memberantas sistem feodal dan pemerintahan istibdad (diktatur) sewenang-wenang, serta meletakkan dasar masyarakat dalam susunan pemerintahan, dapat apriori bertentangan dengan apa yang dinamakan kedaulatan rakyat ?
4. …yang menegakkan istilah islahu bainan nas (damai antara manusia) … dapat apriori bertentangan dengan apa yang disebut peri-kemanusiaan ?
5. …yang mengakui adanya bangsa-bangsa dan meletakkan dasar yang sehat bagi kebangsaan, apriori dapat dikatakan bertentangan dengan kebangsaan?[10]
Mohammad Natsir bahkan menyerukan kepada umat agar tidak mempertentangkan Pancasila dengan Islam, Mohammad Natsir berkata: “dimata seorang muslim, perumusan pancasila bukan kelihatan sebagai satu barang asing yang berlawanan dengan ajaran Al Qur’an ia melihat didalamnya satu pencerminan dari sebagian yang ada pada sisinya. Tetapi itu tidak berarti bahwa pancasila itu sudah identik atau meliputi semua ajaran Islam[11]
Dalam sebuah kutipan panjang pidato Presiden Soekarno, tergambar kemana Pancasila hendak dibawa dan bahaya apa yang bakal terjadi jika hal itu dibiarkan, sebab jelas sekali dari pidato Soekarno itu, bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila tidak lebih dari ciptaan manusia, lebih jauh Tuhan-pun akan bergantung kepada manusia Dia bisa ada, bisa tidak ada.Tuhan tergantung kepada perkembangan masyarakat manusia. Jadi tampak jelas bahwa yang ditolak Mohammad Natsir tersebut bukanlah Pancasila, melainkan Pancasila yang ditafsirkan dan hendak diberi jiwa sekuler (la diniyah). Tentang ini Mohammad Natsir berkata “bagi seorang sekuler, soal Ketuhanan, sampai kepada soal Ketuhanan yang Maha Esa tak ada hubungannya dengan wahyu: baginya soal Ketuhanan adalah soal ciptaan manusia yang berganti-ganti. (Natsir,2004: 44)
C. Peranan Islam dalam Konstituante
Pemimpin-pemimpin Islam Indonesia dari semua golongan menjelang Proklamasi telah berusaha agar pelaksanaan syariah diakui secara konstitusional dengan dicapainya suatu kesepakatan antara wakil-wakil Islam dengan para pemimpin Nasionalis yang netral agama melalui Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945. Piagam ini hanya berumur selama 57 hari, yakni sampai dengan tanggal 18 Agustus 1945. Sebagai gantinya maka sila pertama Pancasila yang semula Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada saat itu juga Presiden Soekarno memberikan janji kepada umat Islam untuk menjadikan UUD 1945 bersifat sementara, sebagaimana yang dikutip oleh H. Endang Saifudin Anshari dari Yamin tentang Naskah persiapan kemerdekaan Indonesia “nanti …kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Perwakilan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna “.[12]
Janji Presiden Soekarno pada tanggal 18 Agustus 1945 tersebut sejalan dengan janjinya terdahulu dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 ketika dia mengusulkan prinsip permusyawaratan sebagai salah satu sila dasar negara : untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama …dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan dan permusyawaratan di dalam badan Perwakilan Rakyat. Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan, Badan Perwakilan, Inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Disinilah kita usulkan kepadapemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya sebagian terbesar dari pada kursi-kursi badan perwakilan rakyat yang kita adalan, diduduki oleh utusan-utusan Islam. (Soekarno, 2001: 23)
Pada tanggal 27 Januari 1953 Presiden Soekarno menyampaikan pernyataan yang mengagetkan di Amuntai, Kalimantan Selatan, sebagaimana yang dikutip oleh H. Endang saifuddin Anshori ketika dia berkata: negara yang kita susun dan yang kita ingini ialah negara nasional yang melliputi seluruh Indonesia. Kalau kita dirikan negara berdasarkan Islam, maka banyak daerah-daerah yang penduduk-penduduknya tidak beragama Islam akan melepaskan diri, misalnya maluku, Bali, Flores, Timor, Kai dan juga Irian barat yang belum masuk wilayah Indonesia tidak akan mau ikut dalam Republik. (Anshari,1997 : 67) Pidato Soekarno ini mengandung banyak reaksi dan protes dari berbagai kelompok Islam diantaranya adalah dari Gerakan Pemuda Islam Indonesia yang dikutip oleh H. Endang Saifudin Anshari dalam majalah Aliran Islam menyatakan : “kini bapak sudah menanam benih-benih separatisme kepada rakyat dan ternyata dengan itu bapak telah menyatakan memihak kepada segolongan rakyat yang tidak setuju dengan ideologi Islam” [13]
Usaha-usaha yang ditempuh untuk memperjelas apa yang menjadi pemikiran Soekarno tersebut secara detail dapat dilihat dalam diskusi yang dilakukan oleh A. Dahlan Ranuwiharjo, ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam yang menulis surat kepada Soekarno untuk meminta penjelasan tentang hubungan antara negara nasional dan negara Islam, dan antara Pancasila dan Ideologi Islam [14] Kemudian pada waktu Presiden menyampaikan kuliah umum tentang “Negara Nasional dan cita-cita Islam” pada tanggal 7 Mei 1953 di Universitas Indonesia, menjelang akhir pidatonya Soekarno menyampaikan : tentang kedudukan Pancasila dan Islam, aku tidak bisa mengatakan lebih dari pada lain dengan mensitir ucapan saudara pemimpin besar Masyumi, Mohammad Natsir di Pakstan Karachi tatkala beliau mengadakan ceramah di hadapan Pakistan Institute for International Relation, beliau mengatakan bahwa Pancasila dan Islam tidak bertentangan satu sama lain. [15]
Mohammad Natsir dengan mengatakan bahwa : bukanlah ini berarti bahwa kita sudah sampai pada satu titik pertemuan, antara umat Kristen dan umat Islam, yakni sama-sama hendak mencari dasar negara yang bersumber pada wahyu ilahi ? Baik yang melalui injil ataupun melalui Al Qur’an. Dengan demikian akan terdapat kiranya kenyataan bahwa baik golongan saudara Manomutu dan golongan kami mendapat persesuaian dalam satu essential, yakni sama-sama menolak faham sekularisme sebagai falsafah negara. Jadi pilihan selanjutnya tidak lagi antara faham sekularisme (la-diniyah) atau faham agama, akan tetapi antara wahyu ilahi yang diterima oleh umat Islam atau wahyu ilahi yang diterima oleh umat Kristen.[16] Pandangan Soekarno mengenai sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam pidatonya di depan Gerakan Pembela Pancasila dikritik oleh Mohammad Natsir pada waktu sidang di Majelis Konstituante tanggal 12 November 1957, menurutnya : Paham tentang wujud Ketuhanan telah direlatifkan menurut perkembangan hidup masyarakat dari satu taraf ke taraf yang lain. Dari taraf hidup pengembara ke taraf agraria sampai ke taraf industrialisasi dan lain-lain
Kesimpulan dari pada paham itu dalam bentuk paling simple ialah: seorang yang masih dalam taraf kehidupan agraris memerlukan Tuhan, tetapi kalau sudah menjadi industrialis, Tuhan tidak diperlukan lagi. [17] Dimanakah gerangan, hendak ditempatkannya wahyu sebagai sumber kepercayaan dan keimanan kepada Tuhan? Mohammad Natsir bertanya “wahyu yang bebas dari pengaruh-pengaruh yang bersifat temporer seperti pengaruh agraria, nomadis atau industrialisasi .”
Selanjutnya dia menekankan bahwa: bagi seorang sekularis soal Ketuuhanan, sampai pada sol Ketuhanan Yang Maha Esa, tak ada hubungannya dengan wahyu; baginya soal Ketuhanan adalah ciptaan manusia yang berganti-ganti.” Yang dilanjutkan dengan menyatakan “paham tersebut sebenarnya dipelopori oleh kaum marxis, yang mengatakan bahwa struktur ekonomi dan masyarakat itulah yang menentukan paham hidup suatu masyarakat tentang agama, filsafat atau maupun kultur. [18]
Kita pada akhirnya mengakui kebaikan dari Pancasila, akan tetapi karena adanya berbagai macam penafsiran yang beragam akhirnya menolaknya dengan tegas : memang tidak bisa bisa disangkal; bahwa dalam pancasila itu terumus ide-ide yang baik. Tetapi keterangan-keterangan yang kita dapat dari penyokong Pancasila itu sendiri, menunjukkan bahwa mereka itu sendiri tidak dapat menentukan apa isinya yang sebenarnya, apa urutannya (volgerdenya), apa asalnya, apa intinya (nucleusnya) dan apa hubungannnya satu sama lain. Karena tidak jelas, maka kesulitan- kesulitan akan berkembang. Oleh karena asas negara kita itu harus jelas dan tegas, maka sulitlah bagi kami untuk menerima sesuatu yang tidak tegas[19]
Bagi Mohammad Natsir, Pancasila sebagai falsafah Negara sebagaimana yang ditafsirkan oleh para pendukung-pendukungnya secara berbeda-beda maka Pancasila menjadi kabur dan tidak berkata apa-apa kepada jiwa umat Islam yang sudah memiliki pandangan hidup yang tegas, terang dan lengkap “dan hidup dalam kalbu rakyat Indonesia sebagai tuntunan hidup dan sumber kekuatan lahir dan batin yakni Islam” [20]







BAB III
KESIMPULAN

Sila-sila dalam Pancasila juga ada terdapat dalam Islam. Bukan sebagai “pure concept” yang stereil, tetapi sebagai nilai-nilai hidup yang mempunyai substansi yang riel dan terang. Dengan menerima Islam sebagai falsafah negara, rakyat sedikitpun tidak dirugikan apa-apa. Baik sebagai pendukung Pancasila maupun sebagai orang yang beragama. Malah akan memperoleh satu state philosophy yang hidup berjiwa, berisi tegas dan mengandung kekuatan. Tidak satupun dari lima sila yang terumus dalam pancasila itu yang akan terluput atau gugur, apabila rakyat menerima Islam sebagai Dasar negara. Dalam Islam terdapat kaedah-kaedah yang pasti, dimana “pure concepts” dari sila yang lima itu mendapat substansi yang riel mendapat jiwa dan roh penggerak. Dan dalam Islam kita pasti akan bertemu dengan konsep Sosial ekonomi yang progresif.
Islam mengatur hubungan antara manusia dengan Allah dan antara sesame manusia. Islam merupakan pedoman dan falsafah hidup yang tidak mengenal pemisahan agama dan politik.
Kita mengakui bahwa dalam Islam tidak ada perintah untuk mendirikan suatu negara Islam oleh Rasulullah. Namun demikan ia juga menyatakan penolakannya terhadap gagasan sekularissi dengan menegaskan bahwa faham sekularisasi tidak sejalan dengan jalan pikiran bangsa kita yang beragama.












REFERENSI

  • Maarif, Syafii. 1987. Islam dan masalah kenegaraan. Jakarata : LP3ES.
  • Mohammad, Natsir. 1954. Capita Selecta. Jakarta: Bulan Bintang.
  • Mohammad Natsir. 2004. Islam sebagai dasar Negara. Bandung :
  • Sega Arsy. Muzakki. 2004. Amien Rais sang pahlawan Reformasi. Jakarta : Lentera
  • Nasution, Harun. 1986. Islam ditinjau dari beberapa aspeknya. Jakarta : UI Press
  • Wahid, Marzuki dan Ruimadi. 2001. Fiqh Madzab negara. Yogyakarta : LKIS
  • Noer, Deliar. 1987.Partai – Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta : Grafiti Pers
  • Harry, J. Benda., Islam di Indonesia pada masa pendudukan Jepang. (Jakarta : 1980. Bulan Sabit dan matahari terbit
  • Soekarno,. Bung Karno: Negara Nasional dan Cita-cita Islam (Seri Dokumenter). Jakarta: 2003. Vision
  • N Noer, Deliar. 1994. Gerakan Modernisme Islam di Indonesia. (Jakara : LP3ES.
  • Anshari, Endang Saifuddin.1997. Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah consensus nasional tentang dasar negara Republik Indonesia. (Jakarta: Gramedia)










[1] Wahid, Marzuki dan Ruimadi. 2001. Fiqh Madzab negara. Yogyakarta : LKIS 200) hlm25
[2] Ibid hlm 27
[3] Ibid.. hlm29
[4] Noer, Deliar.. Partai – Partai Islam di Pentas Nsional. J(akarta : Grafiti Pers1987) Hlm.77
[5] Maarif, Syafii.. Islam dan masalah kenegaraan. (akarata : LP3ES. 1987) hlm. 107
[6] Harry, J. Benda. 1980. Bulan Sabit dan matahari terbit, Islam di Indonesia pada masa pendudukan Jepang. (Jakarta : Pustaka Jaya). Hlm 88



[7] Syafi’I Maarif, op.cit.hlm.108 - 109
[8] ibid..124
[9] Noer, Deliar. Op.cit..hlm.126
[10] N Noer, Deliar. Gerakan Modernisme Islam di Indonesia. (Jakara : LP3ES.1994..) hlm.138
[11] Ibid..hlm. 140
[12]Anshari, Endang Saifuddin.1997. Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah consensus nasional tentang dasar negara Republik Indonesia. (Jakarta: Gramedia) hlm.66
[13] Ibid..hlm. 69
[14] Soekarno,. Bung Karno: Negara Nasional dan Cita-cita Islam (Seri Dokumenter). Jakarta: 2003. Vision) hlm. 3
[15] Ibid. 3
[16] Mohammad Natsir.. Islam sebagai dasar Negara. (Bandung : 2004.Sega Ars) hlm. 103
[17]ibid..hal 43
[18] ibid..44
[19] ibid..56
[20] ibid..57

Tidak ada komentar:

Posting Komentar