Selasa, 20 Desember 2011

Tawasul (Syirik vs Mubah)

PENGERTIAN TAWASSUL
Tawassul adalah:
"طَلَبُ حُصُوْلِ مَنْفَعَةٍ أَوْ انْدِفَاعِ مَضَرَّةٍ مِنَ اللهِ بِذِكْرِ اسْمِ نَبِيٍّ أَوْ وَلِيٍّ إِكْرَامًا لِلْمُتَوَسَّلِ بِهِ".
Memohon datangnya manfa’at (kebaikan) atau dihindarkan dari mara bahaya (keburukan) dari Allah dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan (ikram) keduanya”.
MACAM-MACAM TAWASSUL
Ada beberapa macam Tawassul:
  1. Tawassul dengan Asma’ Allah dan Sifat-sifat-Nya
Yaitu bertawassul dengan menyebut nama-nama Allah seperti al Asma’ al Husna atau menyebut sifat-sifat Allah. Seperti doa yang dianjurkan untuk dibaca setelah menyebut al Asma’ al Husna:
"اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ وَابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ القُرْءَانَ رَيِيْعَ قَلْبِيْ وَنُوْرَ صَدْرِيْ وَجَلاَءَ حُزْنِيْ وَذَهَابَ هَمِّيْ".
"Ya Allah, sungguh aku adalah hamba-Mu, anak dari hamba-Mu yang laki-laki dan perempuan, jiwaku ada dalam kekuasaan-Mu, ketetapan-Mu berlaku terhadapku, ketetapan-Mu bagiku adalah adil. Aku memohon kepada-Mu dengan setiap nama yang Engkau miliki, yang Engkau namakan Dzat-Mu dengannya, atau Engkau beritahukan kepada salah seorang hamba-Mu, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang hanya Engkau yang mengetahuinya, (Aku memohon) jadikanlah al Qur'an sebagai isi dan penyemarak hatiku, penerang bagi jiwaku, pengangkat kesedihanku dan penghilang kesusahanku".
  1. Tawassul dengan Amal Saleh
Yaitu bertawassul dengan menyebut amal saleh yang pernah dilakukan oleh seorang hamba dengan harapan agar dikabulkan permohonannya, atau diselamatkan dari mara bahaya oleh Allah ta’ala dengan sebab amal saleh tersebut. Seperti tawassul yang dilakukan oleh tiga orang yang terperangkap dalam sebuah gua, kemudian masing-masing dari mereka memohon kepada Allah dengan menyebut amal saleh masing-masing hingga pintu gua terbuka kembali dan mereka keluar dengan selamat. (H.R. al Bukhari dan Muslim, lihat an-Nawawi, Riyadlus Shalihin, Hadits XII, h. 22-23).
  1. Tawassul dengan adz-Dzawaat al Faadlilah
Yaitu bertawassul dengan menyebut nama seorang nabi atau wali dengan harapan agar dikabulkan permohonan seorang hamba, atau diselamatkan dari mara bahaya oleh Allah ta’ala dengan sebab menyebut nama nabi dan wali tersebut. Seperti tawassul yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam kepada seorang buta untuk berdo'a dengan mengucapkan:
"اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّيْ فِيْ حَاجَتِيْ لِتُقْضَى لِيْ".
"Ya Allah aku memohon dan memanjatkan do'a kepada-Mu dengan Nabi kami Muhammad; Nabi pembawa rahmat, wahai Muhammad, sesungguhnya aku memohon kepada Allah dengan engkau berkait dengan hajatku agar dikabulkan".
IDE DASAR TAWASSUL
Ide dasar dari tawassul adalah sebagai berikut. Allah ta’ala telah menetapkan bahwa biasanya urusan-urusan di dunia ini berdasarkan hukum kausalitas; sebab akibat. Sebagai contoh; Allah ta’ala sesungguhnya maha kuasa untuk memberikan pahala kepada manusia tanpa beramal sekalipun namun kenyataannya tidak demikian. Allah memerintahkan manusia untuk beramal dan mencari hal-hal yang mendekatkan diri kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman:
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ (45)[سورة البقرة]
Maknanya: “Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat, dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’” (Q.S. al Baqarah: 45)
Allah juga berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (35) [سورة المائدة]
Maknanya: “Dan carilah hal-hal yang (bisa) mendekatkan diri kalian kepada Allah” (Q.S. al Mai-dah: 35)
Ayat ini memerintahkan untuk mencari segala hal yang bisa mendekatkan diri kepada Allah, artinya carilah sebab-sebab tersebut, kerjakanlah sebab-sebab itu maka Allah akan mewujudkan akibatnya. Allah akan memenuhi permohonan-permohonan dengan sebab-sebab tersebut, padahal Ia maha kuasa untuk mewujudkan akibat-akibat tanpa sebab-sebab tersebut. Dan Allah ta’ala telah menjadikan tawassul dengan para nabi dan wali sebagai salah satu sebab dipenuhinya permohonan hamba, oleh karenanya kita bertawassul dengan para nabi dan wali dengan harapan agar dikabulkan permohonan kita oleh Allah.
Jadi tawassul adalah sebab syar’i yang menyebabkan dikabulkannya permohonan seorang hamba. Tawassul dengan para nabi dan wali diperbolehkan baik di saat mereka masih hidup atau sudah meninggal. Karena seorang mukmin yang bertawassul keyakinannya adalah bahwa tidak ada yang menciptakan manfaat dan mendatangkan bahaya secara hakiki kecuali Allah. Para nabi dan para wali tidak lain hanyalah sebab dikabulkannya permohonan hamba karena kemuliaan dan ketinggian derajat mereka. Ketika seorang nabi atau wali masih hidup Allah yang mengabulkan permohonan hamba, demikian pula setelah mereka meninggal Allah juga yang mengabulkan permohonan hamba, bukan nabi atau wali itu sendiri. Mereka yang mengatakan tawassul hanya boleh dengan orang yang masih hidup dan haram tawassul dengan nabi atau wali yang sudah meninggal seakan mereka meyakini ta'tsir, penciptaan, pemberian pertolongan dan menjauhkan dari mudlarat secara hakiki bagi nabi atau wali yang masih hidup dan ini jelas batil. Karena yang menciptakan manfaat dan menjauhkan dari mudlarat hanya-lah Allah, tidak ada pencipta selain Allah.
Sebagian kalangan memiliki persepsi bahwa tawassul adalah memohon diciptakan manfaat dan dijauhkan dari mudlarat kepada seorang nabi atau wali dengan keyakinan bahwa yang mendatangkan bahaya dan manfa’at secara hakiki adalah seorang Nabi atau wali tersebut. Persepsi yang keliru tentang tawassul ini kemudian membuat mereka menghakimi orang yang bertawassul sebagai kafir musyrik. Padahal hakekat tawassul sesungguhnya di kalangan orang-orang yang bertawassul adalah memohon datangnya manfa’at (kebaikan) atau dihindarkan dari mara bahaya (keburukan) dari Allah dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan (ikram) keduanya.
Orang yang bertawassul adalah seperti orang yang sakit pergi ke dokter dan meminum obat agar diberikan kesembuhan oleh Allah, meskipun keyakinannya pencipta kesembuhan adalah Allah sedangkan obat hanyalah sebab kesembuhan. Jika obat dalam contoh ini adalahsabab ‘aadi, maka tawassul adalah sabab syar’i. Seandainya tawassul bukan sebab syar’i, maka Rasulullah tidak akan mengajarkan orang buta (yang datang kepadanya) agar bertawassul dengannya. Dalam hadits shahih bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam mengajarkan kepada seorang buta untuk berdo'a dengan mengucapkan:
"اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّيْ فِيْ حَاجَتِيْ لِتُقْضَى لِيْ".
"Ya Allah aku memohon dan memanjatkan do'a kepada-Mu dengan Nabi kami Muhammad; Nabi pembawa rahmat, wahai Muhammad, sesungguhnya aku memohon kepada Allah dengan engkau berkait dengan hajatku agar dikabulkan".
Orang tersebut melaksanakan petunjuk Rasulullah ini. Orang ini adalah seorang buta yang ingin diberi kesembuhan dari butanya, akhirnya ia diberikan kesembuhan oleh Allah di belakang Rasulullah (tidak di hadapan Rasulullah) dan kembali ke majelis Rasulullah dalam keadaan sembuh dan bisa melihat. Seorang sahabat lain -yang menyaksikan langsung peristiwa ini, karena pada saat itu ia berada di majelis Rasulullah- mengajarkan petunjuk ini kepada orang lain pada masa khalifah Utsman ibn 'Affan –semoga Allah meridlainya- yang tengah mengajukan permohonan kepada khalifah Utsman. Pada saat itu Sayyidina Utsman sedang sibuk dan tidak sempat memperhatikan orang ini. Maka orang ini melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh orang buta pada masa Rasulullah tersebut. Setelah itu iamendatangi Utsman ibn 'Affan dan akhirnya ia disambut oleh khalifah 'Utsman dan dipenuhi permohonannya. Umat Islam selanjutnya senantiasa menyebutkan hadits ini dan mengamalkan isinya hingga sekarang. Para ahli hadits juga menuliskan hadits ini dalam karya-karya mereka seperti al Hafizh at Thabarani – beliau menyatakan dalam "al Mu'jam al Kabir" dan "al Mu'jam ash-Shaghir": "Hadits ini shahih"-,[1] al Hafizh at-Turmudzi dari kalangan ahli haditsmutaqaddimin, juga al Hafizh an-Nawawi, al Hafizh Ibn al Jazari dan ulama muta-akhkhirin yang lain.
Hadits ini adalah dalil diperbolehkannya bertawassul dengan Nabi shallallahu 'alayhi wasallam pada saat Nabi masih hidup di belakangnya (tidak di hadapannya). Hadits ini juga menunjukkan bolehnya bertawassul dengan Nabi setelah beliau wafat seperti diajarkan oleh perawi hadits tersebut, yaitu sahabat Utsman ibn Hunayf kepada tamu sayyidina Utsman, karena memang hadits ini tidak hanya berlaku pada masa Nabi hidup tetapi berlaku selamanya dan tidak ada yang menasakhnya.
CARA-CARA (KAIFIYAT) TAWASSUL DENGAN ADZ-DZAWAAT AL FADLILAH
Para ulama menjelaskan bahwa ada beberapa macam bentuk Tawassul dengan adz-Dzawaat al Fadlilah, yakni seorang nabi, wali atau orang saleh:
  1. Meminta kepada Allah dengan beristisyfa' dan menyebut nama mereka. Dalilnya adalah hadits orang buta di atas. Seperti jika orang mengatakan:
"اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ أَوْ بِحَقِّهِ عَلَيْكَ أَوْ أَتَوَجَّهُ بِهِ إِلَيْكَ فِيْ كَذَا...".
"Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan Nabi-Mu; Muhammad…, atau dengan kemuliaan dan derajat Muhammad menurut-Mu…, atau aku bertawajjuh dengannya kepadamu dalam urusanku ini…".
  1. Meminta kepada al Mutawassal bihi, yaitu seorang Nabi atau wali atau orang saleh agar berdoa kepada Allah untuk hajat-hajatnya seperti jika orang mengatakan kepada Nabi:
"يَا رَسُوْلَ اللهِ اُدْعُ اللهَ تَعَالَى أَنْ يَسْقِيَنَا".
"Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar menurunkan hujan kepada kami…".
  1. Meminta hajat langsung kepada Nabi, wali atau orang saleh dengan maksud ia bertasabbub (melakukan sababiyyah) agar dikabulkan permohonan hamba kepada Allah; artinya nabi, wali atau orang saleh sebagai sebab supaya permohonan hamba dikabulkan oleh Allah karena syafa'at dan doa nabi atau wali tersebut kepada Allah.Dalil dari tawassul dengan cara ini di antaranya adalah hadits Bilal ibn al Harits al Muzani yang akan disebutkan di bawah. Misalnya dengan mengatakan:
"اَلْمَدَدَ يَا رَسُوْلَ اللهِ أو اَلْمَدَدَ يَا رِفَاعِيُّ أَوْ أَدْرِكْنِيْ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَوْ أَغِثْنِيْ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَوْ يَا مُحَمَّدُ".
"Bantuan dan pertolonganmu Wahai Rasulullah, atau Aku meminta bantuanmu wahai imam Rifa'i, atau Bantulah aku Wahai Rasulullah, tolonglah aku wahai Rasulullah atau (tolonglah aku) wahai Muhammad".
BERAGAM REDAKSI TAWASSUL
Tawassul memiliki beragam bentuk dan redaksi sebagai berikut:
  1. Dengan menggunakan huruf jarr baa’ seperti dalam tawassul yang diajarkan Nabi kepada orang buta tersebut: "اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِـنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَة".
Juga seperti tawassul yang umumnya dibaca oleh ummat Islam:
"يَا رَبِّ بِالْمُصْطَفَى بَلِّغْ مَقَاصِدَنَا وَاغْفِرْ لَنَا مَا مَضَى يَا وَاسِعَ الْكَرَمِ"
Juga tawassul dalam Shalawat Badar:
"تَوَسَّلْنَا بِبِسْمِ اللهْ وَبِالْهَادِيْ رَسُوْلِ اللهْ
وَكُلِّ مُجَاهِدٍ لِلّهْ بِأَهْلِ الـْبَدْرِ يَا اَللهْ"
Juga dalam Shalawat Nariyyah:
"اَللّهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً، وَسَلِّمْ سَلاَمًا تَامًّا عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الّذِيْ تَنْحَلُّ بِهِ العُقَدُ، وَتَنْفَرِجُ بِهِ الكُرَبُ ...".
  1. Dengan menggunakan baa’ disambung dengan lafazh Haqq atau Jaah, Karaamah, Barakahdan semacamnya seperti dalam doa yang dianjurkan dibaca ketika pergi ke Masjid Jami’:
"اللّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِيْنَ عَلَيْكَ وَبِحَقِّ مَمْشَايَ هَذَا...". َوَاهُ أحْمدُ في الْمُسنَد والطّبَرَانِيّ في الدعاء وابن السُّنِّيِّ في عمل اليوم والليلة والبيهقيّ في الدعوات الكبير وغيرهم وحسَّنَ إسنادَه الحافظ ابن حجر والحافظ أبو الحسن الْمَقدِسيّ والحافظ العراقيّ والحافظ الدمياطيّ وغيرهم).
  1. Dengan menggunakan Nida’ (memanggil) seperti yang diajarkan oleh Nabi kepada orang buta tersebut di atas: "...يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّيْ فِيْ حَاجَتِيْ لِتُقْضَى لِيْ".
  1. Dengan mendatangi kuburan dan mengucapkan redaksi Nida’ seperti yang dilakukan sahabat Bilal ibn al Harits al Muzani di saat musim paceklik di masa pemerintahan Umar ibn al Khaththab sebagaimana diriwayatkan dan disahihkan oleh oleh al Hafizh al Bayhaqi, Ibnu Katsir, al Hafizh Ibnu Hajar dan lainnya. Bilal ibn al Harits al Muzani mendatangi kuburan Nabi dan mengatakan:
" يَا رَسُوْلَ اللهِ اسْتَسْقِ لِأُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوْا ".
  1. Dan lain-lain.
DALIL-DALIL TAWASSUL DENGAN ADZ-DZAWAAT AL FADLILAH
Berikut ini akan dikemukakan dalil-dalil tentang disyari’atkannya tawassul denganadz-Dzawaat al Fadlilah secara lebih detail :
  1. Hadits tentang orang buta yang datang kepada Rasulullah yang telah disebutkan. Hadits tersebut diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam al Mu’jam al Kabir dan al Mu’jam ash-Shaghir dan beliau mensahihkannya. Juga diriwayatkan oleh at-Turmudzi, al Hakim dan lainnya. Hadits ini disahihkan oleh al Hafizh at-Turmudzi, Ibnu Khuzaimah, ath-Thabarani, al Hakim, al Bayhaqi, al Mundziri, an-Nawawi, adz-Dzahabi, Ibnu Hajar, al Haytsami, al Hafizh Ibn al Jazari, as-Suyuthi dan para ulama yang lain.[2]
Jika ada orang yang mengatakan bahwa makna:
"اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّيْ فِيْ حَاجَتِيْ لِتُقْضَى لِيْ".
Adalah:
"اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِدُعَاءِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ ...".
Dengan dalil perkataan Nabi di awal hadits:
"إِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ وَإِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ لَكَ".
Jika engkau mau engkau bisa bersabar, dan jika engkau mau aku akan mendoakan kamu”.
dan itu artinya orang tersebut memohon doa kepada Nabi ketika beliau masih hidup dan itu jelas boleh, sedangkan yang dilakukan oleh orang yang bertawassul adalah memohon didoakan dari orang yang sudah mati atau hidup tapi tidak di hadapannya dan hal ini tidak diperbolehkan !
Jawabannya: bahwa dalam rangkaian hadits tersebut tidak disebutkan bahwa Nabi benar-benar mendoakan orang buta tersebut, yang disebutkan dalam riwayat tersebut bahwa setelah orang buta itu pergi ke tempat wudlu’, Rasulullah meneruskan ta’lim beliau hingga orang buta tersebut datang kembali dalam keadaan sudah bisa melihat sebagaimana disebutkan oleh perawi hadits tersebut:
"فَفَعَلَ الرَّجُلُ مَا قَالَ، فَوَ اللهِ مَا تَفَرَّقْنَا وَلاَ طَالَ بِنَا الْمَجْلِسُ حَتَّى دَخَلَ عَلَيْنَا الرَّجُلُ وَقَدْ أَبْصَرَ كَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِهِ ضُرٌّ قَطُّ".
Orang buta tersebut melaksanakan petunjuk Rasulullah, dan demi Allah kita belum lama berpisah dan belum lama majelis Rasulullah berlangsung hingga orang buta tersebut kembali datang ke majelis dan telah bisa melihat seakan sebelumnya tidak pernah terkena kebutaan sama sekali”.
Dari penegasan sahabat ini diketahui bahwa maksud perkataan Nabi di awal hadits adalah bahwa beliau akan mengajarkan doa kepada orang buta tersebut, bukan mendoakannya secara langsung:
"... وَإِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ لَكَ" أَيْ عَلَّمْتُكَ دُعَاءً تَدْعُوْ بِهِ.
Jadi pemaknaan yang dilakukan dengan taqdir (بِنَبِيِّنَا: بِدُعَاءِ نَبِيِّنَا ) itu tidak benar karena memang tidak ada dalilnya. Jadi bertawassul dengan Nida’ sekalipun tidak di hadapan seorang Nabi atau wali adalah boleh seperti jelas-jelas disebutkan dalam hadits tersebut tanpa ditakwil-takwil dan tanpa perlu taqdir kalimat tertentu.
Faedah Hadits: Hadits ini menunjukkan dibolehkannya bertawassul dengan para nabi dan wali yang masih hidup tanpa berada di hadapan mereka. Karena sahabat yang buta tersebut tidak bertawassul di hadapan Nabi, melainkan pergi ke tempat wudlu, lalu berwudlu, sholat dan berdoa dengan lafazh yang diajarkan oleh Nabi, kemudian dia mendatangi Nabi dan Nabi belum meninggalkan majelisnya seperti disebutkan oleh perawi hadits tersebut. Hadits ini juga menunjukkan bolehnya bertawassul dengan para nabi dan wali, baik ketika masih hidup maupun sudah meninggal seperti diajarkan oleh perawi hadits tersebut, yaitu sahabat Utsman ibn Hunayf kepada tamu sayyidina Utsman. Jadi hadits yang sahih ini membantah perkataan sebagian orang bahwa bertawassul hanya boleh dengan al Hayy al Hadlir (Nabi atau Wali yang masih hidup dan tawassul dilakukan di hadapannya) dengan meminta doanya.
2. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya dari Abu Sa'id al Khudri –semoga Allah meridlainya-, ia berkata, Rasulullah bersabda :
َنْ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ إِلَى الصَّلاَةِ فَقَالَ : اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِيْنَ عَلَيْكَ وَبِحَقِّ مَمْشَايَ هَذَا فَإِنِّيْ لَمْ أَخْرُجْ أَشَرًا وَلاَ بَطَرًا وَلاَ رِيآءً وَلاَ سُمْعَةً خَرَجْتُ اتِّقَاءَ سَخَطِكَ وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِكَ فَأَسْأَلُكَ أَنْ تُنْقِذَنِـيْ مِنَ النَّارِ وَأَنْ تَغْفِرَ لِيْ ذُنُوْبِيْ إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبِ إِلاَّ أَنْتَ ، أَقْبَلَ اللهُ عَلَيْهِ بِوَجْهِهِ وَاسْتَغْفَرَ لَهُ سَبْعُوْنَ أَلْفَ مَلَكٍ" (رَوَاهُ أحْمدُ في الْمُسنَد والطّبَرَانِيّ في الدعاء وابن السُّنِّيِّ في عمل اليوم والليلة والبيهقيّ في الدعوات الكبير وغيرهم، صحّحه ابن خزيمة وحسَّنَه الحافظ ابن حجر والحافظ أبو الحسن الْمَقدِسيّ والحافظ العراقيّ والحافظ الدمياطيّ وغيرهم).
Maknanya: "Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat (di masjid) kemudian ia berdo'a: "Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan derajat orang-orang yang saleh yang berdo'a kepada-Mu (baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal) dan dengan derajat langkah-langkahku ketika berjalan ini, sesungguhnya aku keluar rumah bukan untuk menunjukkan sikap angkuh dan sombong, juga bukan karena riya’ dan sum'ah, aku keluar rumah untuk menjauhi murka-Mu dan mencari ridla-Mu, maka aku memohon kepada-Mu: selamatkanlah aku dari api neraka dan ampunilah dosa-dosaku, sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau, maka Allah akan meridlainya dan tujuh puluh ribu malaikat memohonkan ampun untuknya" (H.R. Ahmad dalam "al Musnad", ath-Thabarani dalam "ad-Du'a", Ibn as-Sunni dalam" 'Amal al Yaum wa al-laylah", al Bayhaqi dalam Kitab "ad-Da'awat al Kabir" dan selain mereka, sanad hadits ini disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan dihasankan oleh al Hafizh Ibn Hajar, al Hafizh Abu al Hasan al Maqdisi, al Hafizh al 'Iraqi, al Hafizh ad-Dimyathi dan lain-lain).
Al Hafizh al-Lughawi Murtadla az-Zabidi mengatakan dalam Syarh al Ihya' (5/89):
"وَالْمُرَادُ بِالْحَقِّ فِيْ الْمَوْضِعَيْنِ الْجَاهُ وَالْحُرْمَةُ".
"Maksud dari kata Haqq di dua tempat (dalam hadits tersebut) adalah kedudukan atau derajat yang tinggi dan kemuliaan".
Faedah Hadits: Hadits ini menunjukkan dibolehkannya bertawassul dengan para shalihin, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Karena jelas tawassul dilakukan tiada lain dengan orang-orang saleh, tidak mungkin bertawassul dengan para pendosa dan ahli maksiat. Dalam hadits ini pula Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam mengajarkan untuk menggabungkan antara tawassul dengan adz-Dzawaat al Faadlilah (seorang nabi atau wali dan orang-orang saleh) dan tawassul dengan amal saleh, beliau tidak membedakan antara keduanya, tawassul jenis pertama hukumnya boleh dan yang kedua juga boleh. Dalam hadits ini tawassul dengan adz-Dzawaat al Faadlilah ada pada kata (بِحَقِّ السَّائِلِيْنَ عَلَيْكَ ) dan tawassul dengan amal saleh ada pada kata (وَبِحَقِّ مَمْشَايَ هَذَا ).
  1. Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya dengan sanad yang hasan sebagaimana dikatakan oleh al Hafizh Ibnu Hajar bahwa al Harits ibn Hassan al Bakri berkata kepada Rasulullah:
" أَعُوْذُ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ أَنْ أَكُوْنَ كَوَافِدِ عَادٍ"
Maknanya: “Aku berlindung kepada Allah dan Rasul-Nya dari menjadi seperti utusan kaum ‘Aad (utusan yang yustru menghancurkan kaum yang mengutusnya)” (H.R. Ahmad)
Faedah Hadits: Hadits ini menunjukkan dibolehkannya bertawassul dan beristighatsah meskipun dengan lafazh al Isti’adzah. Dalam hadits ini al Harits ibn Hassan al Bakri memohon perlindungan (beristi’adzah) kepada Allah karena Allah adalah yang dimohoni perlindungan secara hakiki (Musta’adz bihi haqiqi), sedangkan ketika ia memohon perlindungan kepada Rasulullah karena Rasulullah adalah yang dimohoni perlindungan dengan makna sebab (Musta’adz bihi ‘ala ma’na annahu sabab).Rasulullah tidak mengkafirkannya, tidak memusyrikkannya bahkan tidak mengingkarinya sama sekali, padahal kita tahu bahwa Rasulullah tidak akan pernah mendiamkan terjadinya perkara mungkar sekecil apapun. Dalam hadits ini Rasulullah tidak mengatakan: “Engkau telah musyrik karena mengatakan: (وَرَسُوْلِهِ), karena engkau telah beristi’adzah kepadaku”.
Orang-orang yang menganggap tawassul dengan Nabi sebagai perkara syirik, apa yang akan mereka katakan tentang Imam Ahmad yang mencantumkan hadits ini dalam Musnad-nya, apakah mereka menganggap Ahmad menyetujui perbuatan syirik atau apa yang akan mereka katakan ?!!.
  1. Al Bazzar meriwayatkan hadits Rasulullah:
"حَيَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ وَمَمَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ، تُحْدِثُوْنَ وَيُحْدَثُ لَكُمْ، وَوَفَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ تُعْرَضُ عَلَيَّ أَعْمَالُكُمْ، فَمَا رَأَيْتُ مِنْ خَيْرٍ حَمِدْتُ اللهَ عَلَيْهِ وَمَا رَأَيْتُ مِنْ شَرٍّ اسْتَغْفَرْتُ لَكُمْ" رواه البزّار ورجاله رجال الصحيح
Maknanya: “Hidupku adalah kebaikan bagi kalian dan matiku adalah kebaikan bagi kalian, ketika aku hidup kalian melakukan banyak hal lalu dijelaskan hukumnya bagi kalian melalui aku. Matiku juga kebaikan bagi kalian, diberitahukan kepadaku amal perbuatan kalian, jika aku melihat amal kalian baik maka aku memuji Allah karenanya dan jika aku melihat ada amal kalian yang buruk aku memohonkan ampun untuk kalian kepada Allah” (H.R. al Bazzar dan para perawinya adalah para perawi sahih)
Hadits ini disahihkan oleh al Hafizh al ‘Iraqi, al Haytsami, al Qasthallani, as-Suyuthi dan lainnya.[3]
Faedah Hadits: Hadits ini menunjukkan bahwa meskipun sudah meninggal Rasulullah bisa mendoakan atau memohonkan ampun kepada Allah untuk ummatnya. Oleh karenanya diperbolehkan bertawassul dengannya, memohon didoakan olehnya meskipun beliau sudah meninggal.
KESIMPULAN
Bertawassul dengan para nabi dan wali dengan cara-cara dan redaksi-redaksi yang telah disebutkan hukumnya boleh, baik di saat seorang Nabi atau wali masih hidup atau setelah meninggal, baik di hadapannya atau tidak di hadapannya. Namun hal itu harus disertai dengan keyakinan bahwa tidak ada yang bisa mendatangkan bahaya dan memberikan manfa’at secara hakiki kecuali Allah, sedangkan para nabi dan wali hanyalah sebab dikabulkannya doa dan permohonan seseorang. Marilah kita renungkan: Bukankah firman Allah :
وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا (64) [سورة النساء].
Ini menunjukkan bolehnya bertawassul dengan Nabi setelah beliau meninggal. Karena ayat ini tidak berlaku khusus di saat Nabi masih hidup, tetapi berlaku umum, baik ketika Nabi masih hidup atau setelah meninggal. Demikian ditegaskan oleh Ibnu al Hajj dalam kitabnya al Madkhaldan para ulama yang lain.
TAWASSUL UMAR DENGAN AL ‘ABBAS BIN ABDUL MUTHTHALIB
Sebagian kalangan yang anti tawassul sering menyebut-nyebut peristiwa tawassulnya Umar ibn al Khaththab dengan paman Nabi al ‘Abbas setelah melakukan sholat Istisqa’, kemudian mereka mengatakan: “Ini adalah dalil bahwa tidak boleh bertawassul dengan Nabi atau wali yang sudah meninggal dunia, terbukti Umar bukannya bertawassul dengan Nabi yang sudah meninggal, melainkan bertawassul dengan orang yang masih hidup, yaitu al ‘Abbas dengan meminta doanya”.
Jawab:
Pernyataan bahwa Umar bertawassul dengan ‘Abbas tiada lain karena Rasulullah telah meninggal tidak memiliki dasar sama sekali. Umar tidak pernah mengatakan seperti itu, juga tidak sedikit-pun memberikan isyarat bahwa maksudnya ketika bertawassul dengan ‘Abbas tiada lain karena Rasulullah telah meninggal. Al ‘Abbas juga tidak pernah mengatakan hal seperti itu atau mengisyaratkan sekali-pun. Pernyataan yang ada adalah pernyataan Umar bahwa ia bertawassul dengan ‘Abbas dikarenakan melihat kedekatan al ‘Abbas terhadap Nabi dari segi nasab dan hubungan kerabat dan penghormatan kepada paman Nabi sebagaimana Nabi sangat menghormati paman beliau tersebut. Al ‘Abbas juga mengatakan hal yang sama. Az-Zubair ibn Bakkar meriwayatkan –sebagaimana dinukil oleh al Hafizh Ibnu Hajar dalamFath al Baari- bahwa ketika Umar meminta ‘Abbas untuk berdoa, al ‘Abbas-pun berdoa dan mengatakan:
"اَللَّهُمَّ إِنَّ الْقَوْمَ تَوَجَّهُوْا بِيْ إِلَيْكَ لِمَكَانِيْ مِنْ نَبِيِّكَ".
Ya Allah, sesungguhnya mereka memohon kepada-Mu melalui diriku karena kedudukan dan kekerabatanku dengan Nabi-Mu”.
Al Hakim juga meriwayatkan sebagaimana dinukil juga oleh al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al Baari bahwa Umar menyampaikan kepada ummat Islam pada saat itu dan mengatakan:
"أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلََمَ كَانَ يَرَى لِلْعَبَّاسِ مَا يَرَى الْوَلَدُ لِوَالِدِهِ، يُعَظِّمُهُ وَيُفَخِّمُهُ وَيَبَرُّ قَسَمَهُ، فَاقْتَدُوْا أَيُّهَا النَّاسُ بِرَسُوْلِ اللهِ فِيْ عَمِّهِ الْعَبَّاسِ وَاتَّخِذُوْهُ وَسِيْلَةً إِلَى اللهِ فِيْمَا نَزَلَ بِكُمْ" رواه الحاكم في المستدرك
Wahai ummat Islam, Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam menghormati al ‘Abbas sebagaimana seorang anak menghormati ayahnya. Nabi mengagungkannya, memuliakannya dan memenuhi sumpah-sumpahnya, (oleh karenanya) maka teladanilah Rasulullah pada diri paman beliau al ‘Abbas dan jadikanlah al ‘Abbas sebagai wasiilah kepada Allah dalam kesulitan-kesulitan yang menimpa kalian”.
Dua riwayat yang langsung dari al ‘Abbas dan Umar sendiri ini menjelaskan sebab tawassulnya Umar dengan al ‘Abbas dan membantah klaim sebagian orang yang mengatakan bahwa Umar bertawassul dengan ‘Abbas tiada lain karena Rasulullah telah meninggal. Dua riwayat ini dengan tegas menjelaskan bahwa Umar bertawassul dengan al ‘Abbas tiada lain karena hubungan kekerabatan al ‘Abbas dengan Nabi. Selain itu, Umar dengan perbuatannya bertawassul dengan al ‘Abbas ini hendak menjelaskan bahwa boleh bertawassul dengan orang-orang saleh selain Nabi yang memang diharapkan berkahnya. Karenanya al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Fath al Baari setelah menyebutkan kisah ini:
"وَيُسْتَفَادُ مِنْ قِصَّةِ الْعَبَّاسِ اسْتِحْبَابُ الاسْتِشْفَاعِ بِأَهْلِ الْخَيْرِ وَالصَّلاَحِ وَأَهْلِ بَيْتِ النُّـبُوَّةِ".
Diambil faedah dari kisah al ‘Abbas ini kesunnahan beristisyfa’ dan bertawassul dengan orang saleh dan ahli bayt (keluarga) Nabi”.
TAWASSUL MENURUT MADZHAB EMPAT
Masalah tawassul dengan para nabi dan orang saleh ini hukumnya boleh dengan ijma' para ulama Islam sebagaimana dinyatakan oleh ulama madzhab empat seperti al Mardawi al Hanbali dalam Kitabnya al Inshaf, al Imam as-Subki asy-Syafi'i dalam kitabnyaSyifa as-Saqam, Mulla Ali al Qari al Hanafi dalam Syarh al Misykat, Ibn al Hajj al Maliki dalam kitabnya al Madkhal.
Ibnu Muflih al Hanbali dalam kitabnya al Furuu’ (1/595) mengatakan:
"وَيَجُوْزُ التَّوَسُّلُ بِصَالِحٍ، وَقِيْلَ: يُسْتَحَبُّ".
Boleh bertawassul dengan orang saleh, bahkan dalam suatu pendapat: disunnahkan”.
Al Imam al Buhuti al Hanbali mengatakan dalam kitab Kasysyaf al Qina’ (2/69):
"وَقَالَ السَّامِرِيُّ وَصَاحِبُ التَّلْخِيْصِ: لاَ بَأْسَ بِالتَّوَسُّلِ لِلاسْتِسْقَاءِ بِالشُّيُوْخِ وَالعُلَمَاءِ الْمُتَّقِيْنَ، وَقَالَ فِيْ الْمُذَهَّبِ: يَجُوْزُ أَنْ يُسْتَشْفَعَ إِلَى اللهِ بِرَجُلٍ صَالِحٍ، وَقِيْلَ يُسْتَحَبُّ. وَقَالَ أَحْمَدُ فِيْ مَنْسَكِهِ الَّذِيْ كَتَبَهُ لِلْمَرُّوْذِيِّ: إِنَّهُ يَتَوَسَّلُ بِالنَّبِيِّ فِيْ دُعَائِهِ –يَعْنِيْ أَنَّ الْمُسْتَسْقِيَ يُسَنُّ لَهُ فِيْ اسْتِسْقَائِهِ أَنْ يَتَوَسَّلَ بِالنَّبِيِّ- ، وَجَزَمَ بِهِ فِيْ الْمُسْتَوْعَبِ وَغَيْرِهِ"، ثُمَّ قَالَ:"قَالَ إِبْرَاهِيْمُ الْحَرْبِيُّ: الدُّعَاءُ عِنْدَ قَبْرِ مَعْرُوْفٍ الْكَرْخِيِّ التِّرْيَاقُ الْمُجَرَّبُ" ا.هـ .
As-Samiri dan pengarang kitab Talkhish mengatakan: boleh bertawassul untuk meminta hujan kepada Allah dengan orang-orang saleh dan para ulama yang bertaqwa. Pengarang kitab al Mudzahhab mengatakan: boleh beristisyfa’ dan bertawassul kepada Allah dengan orang yang saleh, bahkan menurut suatu pendapat disunnahkan. Imam Ahmad mengatakan dalam kitab Mana-sik yang beliau tulis untuk al Marrudzi: orang yang berdoa setelah istisqa’ hendaklah bertawassul dengan Nabi dalam doa-nya. Dalam kitab al Mustaw’ab dan lainnya hal ini dipastikan sebagai madzhab Ahmad”. Kemudian al Buhuti mengatakan: “Ibrahim al Harbi mengatakan: berdoa di makam Ma’ruf al Karkhi adalah obat yang mujarrab (jika berdoa di sana akan dikabulkan oleh Allah)”.
Ibrahim al Harbi adalah seorang ulama yang semasa dengan Ahmad ibn Hanbal, seorang ahli hadits bahkan juga seorang mujtahid. Beliau adalah salah seorang yang direkomendasikan oleh Ahmad ibn Hanbal agar anaknya berguru kepadanya.
Syekh ‘Ala-uddin al Mardawi al Hanbali, salah satu ulama madzhab Hanbali yang terkemuka, mengatakan dalam kitab al Inshaaf(2/456):
"وَمِنْهَا يَجُوْزُ التَّوَسُّلُ بِالرَّجُلِ الصَّالِحِ عَلَى الصَّحِيْحِ مِنَ الْمَذْهَبِ، وَقِيْلَ يُسْتَحَبُّ، قَالَ الإِمَامُ أَحْمَدُ لِلْمَرُّوْذِيِّ: يَتَوَسَّلُ بِالنَّبِيِّ فِيْ دُعَائِهِ، وَجَزَمَ بِهِ فِيْ الْمُسْتَوْعَبِ وَغَيْرِهِ".
Di antaranya: boleh bertawassul dengan orang saleh menurut pendapat yang sahih dalam madzhab (Hanbali), bahkan menurut suatu pendapat dalam madzhab disunnahkan. Imam Ahmad mengatakan kepada al Marrudzi: hendaklah orang yang beristisqa’ bertawassul dengan Nabi dalam doanya, dan hal ini dipastikan sebagai madzhab Ahmad dalam kitab al Mustaw’ab dan lainnya”.
Bahkan al Imam Ahmad ibnu Hanbal berkomentar tentang Abu Abdillah Shafwan ibn Sulaym al Madani sebagaimana dinukil oleh al Hafizh Murtadla az-Zabidi dalam Syarh al Ihya’(10/130):
"قَالَ أَحْمَدُ: هُوَ يُسْتَسْقَى بِحَدِيْثِهِ وَيَنْزِلُ الْقَطْرُ مِنَ السَّمَاءِ بِذِكْرِهِ، وَقَالَ مَرَّةً: هُوَ ثِقَةٌ مِنْ خِيَارِ عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ".
Ahmad mengatakan: Dia -Shafwan bin Sulaym- adalah orang yang kita memohon hujan kepada Allah dengan haditsnya dan akan turun hujan dengan menyebut namanya, pada kesempatan lain Ahmad mengatakan: Beliau adalah orang yang tsiqah –terpercaya- dan termasuk hamba Allah yang saleh”.
As-Suyuthi juga menukil perkataan yang sama dalam Thabaqaat al Huffazh (h. 61) dari Imam Ahmad ibn Hanbal:
"وَذُكِرَ عِنْدَ أَحْمَدَ فَقَالَ: هَذَا رَجُلٌ يُسْتَشْفَى بِحَدِيْثِهِ وَيَنْزِلُ القَطْرُ مِنَ السَّمَاءِ بِذِكْرِِهِ".
Suatu ketika disebut Shafwan bin Sulaym di depan Ahmad, maka Ahmad mengatakan: Ini adalah orang yang kita memohon kesembuhan kepada Allah dengan haditsnya dan akan turun hujan dengan menyebut namanya”.
Abdullah ibn al Imam Ahmad menukil dari ayahnya; Ahmad ibn Hanbal dalam kitabal ‘Ilal Wa Ma’rifah ar-Rijal (1/163-164):
"قَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: قَالَ ابْنُ عُيَيْنَةَ: رَجُلاَنِ صَالِحَانِ يُسْتَسْقَى بِهِمَا ابْنُ عَجْلاَنَ وَيَزِيْدُ بْنُ يَزِيْدَ بْنِ جَابِرٍ".
Ahmad ibn Hanbal mengatakan: Sufyan ibnu ‘Uyaynah mengatakan: ada dua orang saleh yang kita memohon hujan kepada Allah dengan menyebut namanya: Ibnu ‘Ajlaan dan Yazid bin Yazid bin Jabir”.
Marilah kita renungkan, dalam pernyataan-pernyataan ini imam Ahmad tidak mengatakan (يُسْتَسْقَى بِدُعَائِهِ ) "Dimohonkan hujan dengan doanya" seperti dikatakan oleh kalangan anti tawassul bahwa tawassul adalah dengan doa seseorang bukan dengan dzat-nya atau dengan menyebutnya, sebaliknya Imam Ahmad menjadikan penyebutan orang-orang saleh tersebut sebagai sebab turunnya hujan.
Jadi disimpulkan bahwa Imam Ahmad ibn Hanbal dan madzhab Hanbali –sebagaimana madzhab-madzhab yang lain- membolehkan tawassul dengan Nabi dan orang-orang saleh yang sudah meninggal, bahkan disunnahkan. Ini berbeda dengan perkataan sebagian orang yang mengaku sebagai pengikut madzhab Hanbali lalu mengatakan bahwa tawassul adalah haram, bahkan syirik dan ulama salaf tidak pernah membolehkan atau melakukan tawassul. Sungguh aneh, ada orang yang mengaku sebagai pengikut Imam Ahmad dan madzhab Hanbali lalu menjadikan sesuatu yang diperbolehkan oleh imam madzhab dan ulama madzhab sebagai perkara haram bahkan syirik ?!.
Lihatlah al Imam Abu al Wafa ibnu ‘Aqil (W. 503 H) yang merupakan ulama besar madzhab Hanbali dan salah satu Ahl at-Takhrij (Ashab al Wujuh) dalam madzhab Hanbali. Beliau sangat menekankan untuk berziarah ke makam Rasulullah dan bertawassul dengannya dalam kitab beliau at-Tadzkirah. Ini adalah salah satu bukti bahwa orang-orang yang mengaku mengikuti madzhab Hanbali lalu mengharamkan tawassul dan memusyrikkan pelakunya sebetulnya mereka adalah orang-orang yang menyempal dari madzhab Hanbali dan syudzudz ini telah menjadi kebiasaan mereka baik dalam masalah-masalah ushul maupun furuu’. Alangkah jauhnya mereka dari Imam Ahmad dan madzhab Hanbali ?!!.



[1] Para ahli hadits (Hafizh) telah menyatakan bahwa hadits ini shahih, baik yangmarfu' maupun kadar yang mawquf (peristiwa di masa sayyidina 'Utsman), di antaranya al Hafizh ath-Thabarani.
[2] Lihat Abdullah al Ghumari, Ithaaf al Adzkiya’, h. 22.
[3] Abdullah al Ghumari, Ithaaf al Adzkiya’, h. 24-25.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar