Minggu, 18 Desember 2011

Hukum Islam


HUKUM ISLAM*
Oleh : Asep Saepullah (Dosen IAIN SNJ Cirebon)



A.     Pengertian Hukum Islam
Secara harfiah, hukum Islam terdiri dari dua kata, yaitu hukum dan Islam. hukum dapat diartikan sebagai ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan bagi kehidupan manusia, baik perorangan maupun dalam bermasyarakat. Islam adalah suatu agama yang membawa serangkaian peraturan dan ketentuan Allah bagi kehidupan manusia yang harus dipatuhi oleh semua manusia dalam kehidupannya, yang bersumber dari al-Qur’ān dan Sunnah. Dengan demikian, hukum Islam dapat diartikan, sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Islam untuk kehidupan manusia yang bersumber dari al-Qur’ān dan Sunnah.
Pengertian hukum menurut Islam berbeda dengan maksud hukum menurut ahli hukum, sebagai dikemukakan oleh Hazairin, hukum menurut ahli hukum adalah :
Hukum hanyalah suatu segi dari penjelmaan hidup kemasyarakatan, yakni serangkaian perhubungan yang tertentu yang timbul dalam dan dari masyarakat yang tertentu pula, yaitu serangkaian peraturan hidup yang terpatok kepada hak dan kewajiban yang berlaku selama dikuatkan oleh masyarakat itu. Dengan arti dia tidak akan berkekuatan manakala masyarakat telah berubah sikap dan menimbulkan penjelmaan yang baru, yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya yang baru pula.[1]

Kalau hukum menurut ahli hukum timbul dan berasal dari masyarakat tertentu, maka hukum menurut Islam justru timbul dari Tuhan, yang bersumber dari   al-Qur’ān dan Sunnah. Hukum Islam bukan semata-mata berlaku selama dikuatkan masyarakat, tetapi hukum Islam mempunyai sifat keabadian dan universal. Hukum Islam tidak saja hanya mengatur hubungan manusia sesama manusia (dalam bermasyarakat) tetapi hukum Islam itu mengatur hubungan vertikal antara manusia dengan Allah. Untuk mewujudkan hal inilah Rasulullah diutus oleh Tuhan ke permukaan bumi.
Allah berfirman :
ﺮـﺜـﻛ ﺃ ﻦـﻜـﻠ ﻭ ﺍ ﺮـﻴ ﺫـﻨ ﻮ ﺍ ﺮـﻳـﺸـﻳ ﺲ ﺎــﻨـﻟـﻟ ﺔـﻔ ﺎﻜ ﻻﺍ ﻚ ﺎـﻨـﻠـﺴﺮ ﺃ ﺂـﻣﻭ
(۲۸ : ﺀﺎـﺒـﺳـﻟ ﺍ) ﻦ ﻭـﻣـﻠـﻌـﻳ ﻻ ﺲ ﺎـﻨـﻟ ﺍ
Artinya :
Dan Kami tidak mengutusmu, melainkan kepada manusia seluruhnya, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. (Q.S. Al-Sabā: 28)

Berdasarkan ayat ini nyatalah bahwa Nabi Muhammad saw itu diutus Allah membawa agama Islam untukseluruh manusia di dunia ini. Oleh sebab itu hukum Islam yang dibawanya akan berlaku sepanjang zaman dan untuk setiap umat.
Hukum Islam merealisasikan kebahagiaan, keselamatan, kedamaian serta kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat.
Kembali kepada pengertian hukum, bahwa pengertian hukum Islam menurut ulama Islam berbeda dengan pengertian yang dikemukakan oleh ahli hukum seperti tersebut di atas. Hukum dalam Islam disebut juga dengan Syari’at Islam, hukum syar’i dan kadang-kadang disebut dengan fiqih. Sedang di Indonesia dikenal dengan sebutan Hukum Islam.
Syari’at menurut arti kata, berarti jalan yang biasa atau kolam yang didatangi oleh peminum. Hasbi Ash-Shiddieqy mengutip ungkapan Mahmud Syalthut tentang arti kata Syari’at, sebagai ﺏ ﺮـﺸـﻠـﻠ ﺏ ﺍ ﻮ ﺪـﻠ ﺍ ﻮ ﺃ ﺲ ﺎـﻨـﻠ ﺍ ته ﺆـﺗ ﺩﺮﻮـﻣـﻠ ﺍ [2]. Suatu tempat yang didatangi manusia atau binatang guna untuk minum.
Menurut  istilah yang populer dikalangan ahli hukum Islam, ada beberapa perumusan, yang apabila dilihat akan berarti semua hukum yang bersangkut-paut dengan peraturan-peraturan Islam, baik yang berhubungan dengan ‘aqidah, akhlak maupun yang berhubungan dengan mu’amalah. Hal ini sesuai dengan ungkpan Muhammad Abū Syuhbah :
ﷲﺍ ﻪـﻋ ﺮـﺸ ﺎـﻣ ﻰﻠـﻋ ﻖـﻟﻄـﺗـﻔ ﻲﻋ ﺮـﻠ ﺍ ﻒ ﺮـﻌـﻠ ﺍ ﻲﻔ ﺔـﻌـﻳ ﺮـﺸـﻠ ﺍ ﺎـﻣ ﺃ ﻮ
ﻦـﻴـﺘ ﺩ ﺎـﻌـﺴﻠ ﺍ ﻞـﻳـﺼـﺣـﺗـﻠ ﺏ ﺩ ﻷ ﺍ ﻮ ﻡ ﺎﻜـﺣ ﻷ ﺍ ﻮ ﺩـﺌ ﺎـﻗـﻌـﻠﺍ ﻥـﻣ ﺩ ﺎـﺒـﻌـﻠـﻠ
ﺔـﻳ ﻮ ﺮـﺧ ﻷ ﺍ ﻮ ﺔـﻴ ﻮـﻴـﻨ ﺩـﻠ ﺍ
Artinya:
Adapun Syari’at pada istilah syara’ dipakaikan kepada apa yang disyari’atkan Allah untuk hamba-Nya yang terdiri dari ‘aqidah, hukum-hukum dan adab-adab (akhlak) untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.[3]



Juga Salam Madzkur mengemukakan maksud yang sama:
ﻦـﻳـﺤـﻠ صاﻠ ﺍ ﻦـﻴـﻟـﻣ ﺎـﻋ ﻦـﻴـﻨـﻣ ﺆـﻤ ﺍ ﻮـﻨ ﻭـﻜـﻳـﻟ ﻩ ﺩ ﺎـﺒـﻌـﻠ ﷲﺍ ﺎـﻬـﻨـﺴ ﻲﺗـﻠ ﺍ ﻡ ﺎﻜـﺣ ﻷ ﺍ
ﻕ ﻼـﺧ ﻷ ﺎﺒ ﻡ ﺃ ﺩـﺌ ﺎـﻗـﻌـﻠ ﺎـﺒ ﻢ ﺃ ﻞ ﺎـﻌـﻔ ﻷ ﺎـﺒ  متعــلقةﺖـﻨ ﺎﻛ ﺃ ﺀ ﺍ ﻮـﺴ ﺓ ﺎـﻴـﺤـﻠ ﺍ ﻲﻔ
Artinya:
Hukum-hukum yang disyari’atkan Allah untuk hamba-Nya supaya mereka menjadi orang mukmin yang beramal saleh, dalam kehidupan, baik yang berhubungan dengan perbuatan (amal) maupun yang berhubungan dengan ‘aqidah dan akhlak.[4]

Lain lagi halnya dengan Mahmūd Syalthūt, yang mendefinisikan syari’at dengan:
ﻦ ﺎـﺴـﻨ ﻻ ﺍ ﺫـﺧ ﺄـﻴـﻠ صله ﺃ ﻉشــر ﻮ ﺃ ﷲﺍ ﺎـﻬـﻋ ﺮـﺷ ﻲﺘـﻠ ا ﻢـﻅـﻧـﻠ ﺍ ﻲﻫ يعةﺮـﺸـﻠ ﺍ
ﻪـﻳـﺨ ﺄـﺒ ﻪـﺘـﻘ ﻼـﻋ ﻮ ﻡـﻟـﺳـﻣـﻠ ﺍ ﻪـﻴـﺨ ﺄـﺒ ﻪـﺘـﻗ ﻼـﻋ ﻮ ﻪـﺒ ﻪـﺘـﻘ ﻼـﻋ ﻲﻓ ﻪـﺴـﻔـﻨ ﺎـﻬـﺒ
ﺓ ﺎـﻳـﺤـﻠ ﺎـﺒ ﻪـﺘـﻗ ﻼـﻋ ﻮ ﻦ ﻮـﻜـﻠ ﺎـﺑ ﻪـﺗـﻗ ﻼـﻋ ﻮ نســانﻻ ﺍ
Artinya:
Peraturan-peraturan yang disyari’atkan Allah atau mensyari’atkan pokok-pokoknya, supaya manusia berpedoman keapdanya dalam melakukan hubungannya dengan Tuhannya, hubungannya dengan saudaranya yang muslim, hubungannya dengan saudaranya sesama manusia, hubungannya dengan alam dan hubungannya dengan kehidupan.[5]

Dengan memahami adanya hubungan yang dilakukan manusia, maka syari’at dalam arti yang terakhir ini adalah berkenaan dengan hukum-hukum amaliah. Inilah mungkin mengapa para Fuqahā memakaikan kata syari’at sebagai nama bagi hukum yang ditetapkan Allah untuk para hamba-Nya, dengan perantaraan Rasulullah, supaya para hamba-Nya melaksanakan dengan dasar iman, baik hukum itu mengenai ‘amaliah lahiriah maupun yang mengenai akhlak dan kepercayaan yang bersifat batiniah.
Demikianlah makna Syari’at pada mulanya. Akan tetapi Jumhur Mutaakhkhirin telah memakai kata syari’at untuk nama bagi hukum fiqh atau hukum Islam yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf.[6]
Jadi dengan demikian, kata syari’at dalam arti yang terakhir ini adalah berkenaan dengan hukum-hukum amaliah. Pengertian hukum-hukum yang berbentuk amaliah inilah yang akan dijelaskan dalam pengertian hukum syar’i selanjutnya.
Al-Amidi menerangkan bahwa para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan definisi hukum syar’i . Diantaranya:
ﻞـﻳـﻗ ﻮ ﻦـﻴـﻔــﻠـﻜـﻣـﻠ ﺍ فعالﺄـﺒ ﻖـﻟـﻌـﺗـﻣـﻠ ﺍ ﻉ ﺮ ﺎـﺸـﻠ ﺍ ﺏ ﺎﻃـﺨ ﻦـﻋ ﺓ ﺮ ﺎـﺒـﻋ ﻪـﻨ ﺃ
ﺪ ﺎـﺒـﻌـﻠ ﺍ ﻞ ﺎـﻌـﻔ ﺄـﺒ ﻉ ﺮ ﺎـﺸـﻠ ﺍ ﺏ ﺎﻃـﺨ ﻦـﻋ ﺓ ﺮ ﺎـﺒـﻋ ﻪـﻨ ﺃ
Artinya:
(Hukum Syar’i) ialah suatu ibarat/ungkapan tentang titah Syar’i yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf. Menurut pendapat lain, adalah suatu ungkapan dari titah Syar’i yang berhubungan dengan perbuatan para hamba (manusia).[7]


Ulama lainnya mendefinisikan:
ﻦـﻴـﻔـﻠـﻜـﻣـﻠ ﺍ ﻝ ﺎـﻌـﻔ ﺄـﺒ ﻕـﻠـﻌـﺘـﻣـﻟ ﺍ ﻉ ﺮ ﺎـﺸـﻠ ﺍ ﺏ ﺎﻃـﺨ ﻦـﻋ ﺓ ﺮ ﺎـﺒـﻋ ﻪـﻧ ﺃ
ﺮـﻴـﻴـﺨـﺘـﻟ ﺍ ﻭ ﺃ ﺀ ﺎـﺿـﺗـﻘ ﻻ ﺎـﺒ
Artinya:
(Hukum Syar’i) ialah, suatu ibarat/ungkapan tentang titah syar’i yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf, dengan tuntutan atau boleh pilih.[8]

Bila diteliti kedua definisi ini dan dihubungkan dengan pengertian Syari’at dalam artian sempit di atas, maka kedua definisi ini terdapat kekurangannya. Karena pada definisi pertama tidak ada penjelasan adanya tuntutan dalam hukum, sedangkan pada definisi kedua tidak adanya menggambarkan hukum-hukum yang berhubungan dengan hukum Wad’i.

Perumusan lain diungkapkan oleh Taib Hasan Najjār:
ﻝـﻌـﻔـﺒ ﻕـﻟـﻌـﺘـﻤـﻠ ﺍ ﷲﺍ ﺏ ﺎﻃـﺧ ﻪـﻨ ﺄـﺒ ﻲـﻋ لشــرﺍ ﻡـﻜـﺤـﻠ ﺍ يينـﻠ صو ﻷ ﺍ ﻒ ﺮـﻋ
ﺎـﻌـﻀ ﻮ ﻮ ﺃ ﺍ ﺮـﻴـﺧـﺗ ﻮ ﺃ ﺀ ﺎـﻀـﺗـﻗ ﺍ لمكلف
Artinya:
Ahli Usūl mendefinisikan hukum syar’i ialah titah Allah yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf, baik yang berbentuk tuntutan, boleh pilih, atau ketentuan Wad’i.[9]

Dalam semua definisi ini, nampak bahwa hukum syar’i adalah “kitab Allah” atau “titah Allah”. Dengan ungkapan ini dapat dipahami bahwa selain dari titah Allah bukanlah hukum syar’i. Definisi ini bukan bermaksud bahwa hukum-hukum yang ditetapkan dengan hadis, ijmā, qiyās dan dalil-dalil lainnya, bukan hukum syar’i, karena walaupun hadis, ijmā, qiyās bukan titah Allah, tetapi ketiganya memberi-tahukan dan membukakan tabir terhadap titah Allah. Oleh sebab itu dalil-dalil lain selain dari Al-Qur’ān, mesti diterima. Para ahli Usūl Fiqh telah menetapkan  bahwa dalil-dalil hukum Islam  adalah Al-Qur’ān, Sunnah, Ijmā dan Qiyās. Termasuk ke dalam qiyās, dalil-dalil lain yang ditetapkan dengan ijtihād. Mereka mendasarkan ketetapan tersebut dari firman Allah:

ﺮـﻣ ﻷ ﺍ ﻰـﻟ ﻮ ﺍ ﻮ ﻝ ﻮـﺴ لرﺍﻮـﻌـﻴـﻃ ﺃ ﻮ ﷲﺍ ﺍﻭـﻌـﻴـﻃ ﺃ ﺍﻮـﻨـﻣ ﺁ ﻦـﻴ ﺫـﻠ ﺍ ﺎـﻬـﻴ ﺃ ﺂـﻴ
….. ﻝ ﻮـﺴ ﺮـﻟ ﺍ ﻮ ﷲﺍ ﻰـﻟ ﺍ ﻩ ﻮ ﺩ ﺮـﻔ ﺊﻴـﺸ ﻲـﻔ ﻡـﺗـﻋ ﺰ ﺎـﻨـﺗ ﻦ ﺎـﻔ ﻡـﻜـﻨـﻣ
(۵۹ : ﺀ ﺎـﺳـﻨـﻠ ﺍ)
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, patuhilah Allah, patuhillah Rasul dan Para pemimpinmu. Jika kamu berbantahan tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul …. (Q.S. an-Nisā: 59).

Mematuhi Allah, berarti mematuhi peraturan-Nya yang ada dalam al-Qur’ān. Mematuhi Rasul adalah mematuhi Sunnahnya. Termasuk mematuhi pemimpin adalah mengikuti perumusan yang telah mereka tetapkan dan yang telah mereka sepakati. Yang berhubungan dengan hukum, kesepakatan ini disebut ijmā. Dalam hal terjadi pertentangan, karena tidak dijelaskan dalam al-Qur’an, Sunnah dan juga tidak mendapat kesepakatan di dalamnya, Tuhan memerintahkan agar mengembalikan persoalan itu kepada Allah dan Rasul, yaitu kepada prinsip-prinsip yang terkandung dalam al-Qur’ān dan Sunnah. Pengembalian kepada apa yang disebutkan dalam al-Qur’ān dan Sunnah di kalangan ahli Fiqh disebut dengan qiyās.

Karena Allah menghubungkan perintah mematuhi-Nya dengan mematuhi Rasul dan para pemimpin, maka apa-apa yang datang dari Allah (al-Qur’ān), Rasul (Sunnah) dan para pemimpin (ijmā’), kesemuanya mesti diikuti. Prinsip qiyās yang kembali kepada mematuhi Allah dan mematuhi Rasul-Nya, juga mesti diikuti.

Khitāb Allah yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf dimaksud adalah seluruh perbuatannya, baik perbuatan batin (hati) seperti niat, maupun perbuatan lahir seperti seluruh perbuatan yang dapat diindrai.
Hubungan Khitāb Allah dengan perbuatan para mukallaf adalah hubungan langsung (tanjizi).[10] Setiap perbuatan para mukallaf ada hubungannya secara langsung dengan khitāb Allah. Dengan pengertian bahwa setiap tindak tanduk para mukallaf selalu ada hukum Syar’i yang mengaturnya.
Karena pembicaraan tentang hukum ini erat sekali kaitannya dengan al-Qur’ān sebagai khitāb Allah, maka perlu dipahami arti Khitāb itu. Al-Amidi mengemukakan:
ﻪـﻤـﻬـﻔ ﺊﻴـﻬـﺗـﻣ ﻦـﻤـﻟ ما ﺎـﻬـﻔ ﺍ ﺩ ﻮـﺼـﻗـﻠ ﺍ ﻪـﻴـﻟـﻋ ﻊـﺿ ﺍ ﻮـﺗـﻣـﻠ ﺍ ﻅـﻔـﻟﻟ ﺍ
Artinya:
Suatu lafaz yang bertujuan untuk memberikan pengertian kepada orang yang bersiap untuk menerimanya.[11]
Pengertian Khitāb ini mempunyai konsekwensi, bahwa lafaz yang tidak mempunyai pengertian, bukanlah “Khitāb”, sebaliknya sesuatu yang mempunyai pengertian tetapi bukan terdiri dari lafaz, maka bukanlah “khitāb”. Kemudian Khitāb itu bertujuan untuk memberi pengertian yang diarahkan terhadap orang yang bersiap untuk menerimanya, yaitu orang-orang yang mukallaf menurut hukum.
Dengan memahami apa yang dimaksud dengan khitāb ini dan dihubungkan dengan definisi hukum syar’i , maka perumusan hukum syar’i  hendaknya adalah:
ﻞ ﺎـﻌـﻔ ﺄـﺒ ﻖـﻟـﻌـﺗـﻣ  ﺔـﻌـﻳـﻋﺮـﺸ ﺓ ﺪـﺋ ﺎـﻔ فيه   ﻉ ﺮ لشــا ﺍ ﺏ ﺎﻂـﺨ / ﷲﺍ ﺏ ﺎﻃـﺨ
ﺎـﻌـﻀ ﻮ ﻮ ﺃ ﺍ ﺮـﻴـﻴـﺧـﺘ ﻮ ﺃ ﺀ ﺎـﻀـﺗـﻘ ﺍ ﻦـﻴـﻔـﻠـﻜـﻣـﻠ ﺍ
Artinya:

Hukum Syar’i  adalah khitāb  Allah/ khitāb syar’i  yang mempunyai kekuatan hukum syar’i  yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf, yang terdiri dari tuntutan, boleh pilih atau ketentuan-ketentuan wadh’i.[12]


Dalam hukum ada tuntutan. Tuntutan itu ada kalanya tuntutan untuk memperbuat dan adakalanya tuntutan untuk meninggalkan. Tuntutan memperbuat itu adakalanya secara jāzim (pasti) dan adakalanya secara tidak pasti. Tuntutan memperbuat dalam bentuk kepastian disebut “wujūb”. Tuntutan memperbuat yang bukan secara kepastian disebut “nadab”. Tuntutan meninggalkan adakalanya secara pasti dan ada kalanya secara tidak pasti. Tuntutan meninggalkan secara pasti disebut “hurmah”. Tuntutan meninggalkan yang tidak pasti disebut “karāhah”. Hukum yang tidak termasuk tuntutan, baik untuk memperbuat atau untuk meninggalkan adakalanya berupa kebolehan atau ada kalanya yang lain. Ketentuan boleh pilih antara memperbuat atau meninggalkan disebut “ibāhah”. Ketentuan lain yang tidak dihubungkan dengan boleh pilih dan tuntutan, dinamakan “hukum wad’i”. Hukum wad’i meliputi ketentuan-ketentuan apakah suatu perbuatan itu “sah”, “batal”, menjadikan sesuatu sebagai “sabab”, “māni’” (penghalang) atau “syarat” dan keadaan sesuatu peraturan tentang perbuatan “azimah” atau “rukhsah”.
Dari keterangan di atas, dapat digambarkan bahwa hukum syar’i  itu terbagi kepada dua, yaitu hukum syar’i  yang meliputi “Hukum Taklifi” dan “Hukum Wad’i”. Masing-masingnya adalah:
Hukum Taklifi: Wājib, mandūb, haram, makrūh, dan ibahāh. Hukum Wad’i: Sabab, Māni, syarat, sah, batal, rukhsah dan ‘azimah.[13]
Yang dimaksud dengan hukum Taklifi adalah, hukum-hukum yang menghendaki adanya tuntutan memperbuat dari seseorang mukallaf atau melarang untuk memperbuat, atau sesuatu yang menghendaki adanya kebolehan memilih antara memperbuat atau meninggalkan.[14] Sedangkan yang dimaksud dengan hukum wad’i adalah, sesuatu ketentuan yang menghendaki penetapan sesuatu sebagai sebab bagi sesuatu yang lain, atau sebagai syarat atau penghalang dari padanya.[15] Atau membolehkan bagi adanya suatu rukhsah (keringan sebagai ganti dari ketentuan-ketentuan asal (‘Azimah), atau dia sebagai penjelas sah atau tidak sahnya sesuatu perbuatan.[16]
Bila dilihat dari segi kedua bentuk hukum ini, maka antara keduanya mempunyai perbedaan dari segi apakah hukum itu berupa tuntutan dan atau boleh pilih atau tidak mengandung adanya tuntutan, tetapi hanya berupa ketentuan-ketentuan bagi eksistensi adanya hukum. Yang pertama, yang mempunyai adanya tuntutan dan atau boleh pilih adalah hukum Taklifi, sedangkan pada yang kedua, yang tidak ada padanya tuntutan, tetapi hanya berupa ketentuan-ketentuan, maka ia tergolong kepada hukum wad’i.
Definisi, keterangan dan uraian di atas adalah yang berhubungan dengan hukum syar’i  menurut pandangan ulama Usul Fiqh. Sedangkan menurut ulama Fiqh, hukum syar’i  adalah:
ﺏ ﻮـﺠ ﻮـﻠ ﺎـﻜ ﻝـﻌـﻔـﻠا ﻲـﻔ ﻉ ﺮ ﺎـﺸـﻠ ﺍ ﺏ ﺎﻂـﺨ ﻪـﻴـﺿـﺘـﻗـﻴ ﻱ ﺫـﻠ ﺍ ثـر ﻷ ﺍ
ﺔـﺤ ﺎـﺑ ﻻ ﺍ ﻮ ﺔـﻤ ﺮـﺣـﻠ ﺍ ﻮ

Artinya:
(Hukum Syar’i ) adalah pengaruh/efek yang ditimbulkan oleh Khitāb Allah yang ada hubungannya dengan perbuatan, seperti wujub, hurmah dan ibahah.[17]

Dari definisi ini tampak suatu perbedaan yang jelas antara pemahaman Ahli Usul Fiqh dengan pemahaman Ahli Fiqh tentang apa yang dimaksud dengan hukum Syar’i . Namun pada hakikatnya, perbedaan ini tidak berpengaruh kepada materi hukum yang akan dilakukan oleh para mukallaf, akan tetapi perbedaannya hanya pada perumusan definisi. Dimana “hukum”menurut ahli Usul adalah dalil-dalil syara’ yang berupa khitāb, maka “hukum” menurut ulama Fiqh adalah efek/pengaruh dari khitāb syari’ah itu, yaitu hukum-hukum yang ditimbulkan oleh khitāb itu. Dari segi lain bahwa ada yang dimaksud hukum oleh ahli Usul itu adalah berarti Syari’ah. Karena syari’ah adalah ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah dan dijelaskan Rasul-Nya tentang tindak tanduk manusia di dunia dalam mencapai kehidupan yang baik di dunia dan akhirat. Untuk mengetahui keseluruhan apa yang dikehendaki Allah tentang tingkah laku manusia itu harus ada pemahaman yang mendalam tentang syari’at, sehingga secara amaliah syari’at itu dapat diterapkan dalam kondisi dan situasi manapun. Hasil pemahaman itu dituangkan dalam bentuk ketentuan yang terperinci. Ketentuan terperinci tentang tindak tanduk manusia mukallaf yang diramu dan diformulasikan sebagai hasil pemahaman terhadap syari’at itu disebut Fiqh. Artinya dilahirkan melalui istinbāt (penetapan) para ahli hukum.

Kata fiqh secara etimologis, berarti “faham yang mendalam”. Bila kata “faham” dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat lahiriah, maka giqh berarti faham yang menyampaikan ilmu zahir kepada ilmu batin. Karena itulah Al-Turmuzi menyebutkan  fiqh tentang sesuatu, berarti mengetahui batinnya sampai kepada kedalamannya.[18]
Secara definitif fiqh itu berarti ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat ‘amaliah yang digali dengan ditemukan dari dalil-dalil yang tafisili. Di sini fiqh berarti ilmu, karena fiqh memang suatu ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum syar’i .[19] Atau fiqh ini juga disebut dengan materi-materi  hukum-hukum syar’i  yang amali yang ditetapkan dari dalil-dalil yang tafsili.[20] Karena hukum-hukum itu sudah mencakup berbagai macam ketentuan.
Abdul Wahāb Khalāf[21] mendefinisikan juga dengan “kumpulan hukum-hukum syar’i  yang amali yang diambil dari dalil-dalil tafsili”.
Berikut ini penulis akan mengemukakan pengertian hukum Islam atau hukum Syar’i  yang sering terdengar dalam ungkapan sehari-hari dalam bahasa Indonesia.
Bila dihayati pemahaman dan pemakaian hukum Islam dan hukum syar’i  yang terkenal dalam bahasa Indonesia, maka pengertian yang sebenarnya adalah pengertian yang diungkapkan oleh ulama fiqh, bukan yang diungkapkan ulama Ahli Usul Fiqh. Sebab pemahaman terhadap “Hukum Islam” itu adalah “Hukum Fiqh”. Maksudnya adalah “peraturan-peraturan Islam yang berhubungan dengan perbuatan para manusia (mukallaf)”, atau “kumpulan dari materi hukum Islam yang mengatur segala tindakan para manusia (muslim) yang sudah berhak bertindak hukum (mukallaf).”
Istilah “Hukum Islam” yang terdiri dari dua kata Arab, namun dalam literatur Arab tidak pernah disebut. Hanya dalam bahasa Indonesia sudah terpakai sudah menjadi suatu istilah, yang merupakan terjemahan dari fiqh, atau hukum syar’i , yang bersumber kepada al-Qur’ān dan Sunnah serta dalil-dalil lainnya. Karena yang dipahami dengan hukum Islam adalah materi hukum yang telah dihasilkan dari pemahaman terhadap dalil Al-Qur’ān dan Sunnah, dihubungkan dengan tingkah laku dan perbuatan para mukallaf. Jadi di sini, karena dihubungkan dengan pemahaman terhadap dalil yang merupakan ketentuan bagi tingkah laku para mukallaf, maka hukum syar’i  dan fiqh mempunyai pengertian yang serupa dalam bahasa dan istilah Indonesia yang disebut dengan “Hukum Islam”.
Unsur-unsur hukum itu adalah :
  1. Hakim (yang menghukum) ialah Allah. Yang menghukum setiap tindak tanduk para mukallaf adalah Allah. Maksudnya, titah Allah yang terdapat dalam al-Qur’ān yang dijelaskan oleh Rasul dengan Sunnahnya. Dengan demikian, selain dari titah Allah, bukanlah hakim.
  2. Mahkum bih (yang dikenai hukum) atau obyek hukum adalah perbuatan manusia (yang mukallaf).
  3. Mahkum ‘alaih (subjek hukum) atau yang bertanggungjawab adalah orang-orang yang mukallaf yang tidak ada halangan untuk bertindak/dipandang bertindak menurut hukum.
  4. Hukum, yaitu khitāb syar’i  yang dihadapkan kepada mukallaf ada yang berupa tuntutan mengerjakan, yang adakalanya secara pasti/mesti dan adakalanya tidak. Yang secara pasti dinamakan “ijāb”, yang bukan tututan pasti/mesti dinamakan”nadab”. Tuntutan meninggalkan ada yang secara pasti/mesti dan ada yang tidak. Yang secara pasti/mesti disebut “hurmah”, yang bukan secara pasti/mesti disebut “karāhah”. Khitāb Syar’i  yang dihadapkan secara umum, ada yang bukan tuntutan dan bukan kebolehan, disebut hukum Wad’i, yang  berbentuk kebolehan disebut “ibahah”. Hukum Wad’i, meliputi: Sabab, māni’ syarat, sah, batal, ‘
Itulah uraian secara sederhana tentang pengertian hukum Islam, serta hubungan antara unsur-unsur hukum itu satu sama lain.

B.     Dalil-Dalil Hukum Islam
Apabila kita merujuk kepada beberapa literatur yang membahas tentang hukum Islam, maka kata “dalil hukum” sering disamakan “sumber hukum”, juga ada yang menyebutnya sebagai “usūl fiqh atau masdar fiqh”.[22] Hal ini berpangkal dari anggapan bahwa antara dalil dan sumber adalah sama, sehingga kata dalil dan sumber sering dipakai bergantian untuk menyebut sesuatu yang kepadanya suatu hukum disandarkan. Akan tetapi bila diteliti, antara kata ”dalil” dan “sumber”, sebenarnya tidak mempunyai arti yang sama, setidak-tidaknya  bila dihubungkan kepada kata “syari’at”. Kata sumber syari’at dapat diartikan, sesuatu yang daripadanya ditemukan dan ditimba norma hukum. Sedang dalil, berarti sesuatu yang menunjukkan dan membawa kepada menemukan hukum.
Kata-kata sumber hanya mungkin digunakan untuk al-Qur’ān dan Sunnah, karena memang dari keduanya dapat ditimba hukum-hukum syara’, tetapi tidak mungkin kata ini digunakan untuk Ijmā’ dan Qiyās, karena keduanya bukanlah wadah yang dapat ditimba, keduanya adalah cara dalam menemukan hukum. Selanjutnya, menurut Amir Syarifuddin, kata dalil disamping dapat digunakan untuk al-Qur’ān dan Sunnah, juga berlaku untuk Ijmā’ dan Qiyās, karena memang semuanya menuntun untuk menemukan hukum Allah.[23]
Untuk itu penulis dalam tulisan ini akan menggunakan kata “dalil” untuk menunjuk kepada dalil-dalil hukum Islam. terlebih dahulu di sini akan dikemukakan apa yang dimaksud dengan dalil ini menurut istilah para ahli.
Di kalangan para ahli fiqh, kata “dalil” bermaksud :
ﻰـﻠـﻋ ﻲـﻠـﻣـﻋ ﻲـﻋ شر  ﻡـﻜـﺤ ﻰـﻟـﻋ ﻪـﻴـﻔ صحيحـﻠ ﺍ ﺮـﻇـﻨـﻟ ﺎـﺒ ﻝ ﺪـﺗـﺴـﻴ ﺎـﻣ
[24] ﻦـﻆـﻠ ﺍ ﻮ ﺃ ﻊـﻂـﻗـﻠ ﺍ ﻞـﻴـﺒـﺴ
Artinya:
Sesuatu yang padanya terdapat penunjuk kepada hukum syar’i yang amaly (praktis) melalui penggunaan penalaran yang sehat atas dasar sesuatu yang meyakinkan atau dugaan yang kuat.

Ada juga ulama yang membatasi bahwa dalil itu hanya dipakaikan kepda dalil yang menyakinkan saja.[25] ﻊـﻂـﻗـﻠ ﺍ ﻞـﻳـﺒـﺴ ﻰـﻟـﻋ.
Antar dua pengertian ini batasan yang berbeda, karena pada definisi yang pertama menekankan bahwa dalil itu memungkinkan sesuatu yang qat’i dan zanni (yang meyakinkan dan yang menimbulkan dugaan yang kuat), sementara pada definisi kedua  menekankan kepada hanya sesuatu yang qat’i. Menurut definisi kedua ini apa yang menyampaikan kita kepada sesuatu yang zanni (dugaan yang kuat) disebut “imārat”, atau “tanda”.[26]
Bila dikaitkan dengan uraian di atas, maka penulis cenderung menerima definisi yang pertama, yang menegaskan bahwa dalil adalah yang meliputi adanya petunjuk kepada yang qat’i dan yang zanni. Karena pendapat ini didukung oleh kebanyakan para ulama dan juga sesuai dengan arti lughawinya.


Selain dari itu ada definisi lain:
 [27]ﻱ ﺮـﺒـﺧ ﺏ ﻭـﻠـﻁـﻣ ﻰـﻟ ﺍ ﻪـﻴـﻔ ﺮـﻅـﻨـﻠ ﺍ ﺢـﻴـﺤـﺼـﺒ ﻝـﺻ ﻮـﺗـﻠ ﺍ ﻦـﻜـﻣـﻳ ﺎـﻣ
Artinya:

Sesuatu yang memungkinkan untuk sampai kepada tuntutan khabari dengan pemikiran yang sehat


Bila dipahami definisi-definisi ini, maka sesuatu yang tidak menyampaikan kepada tuntutan, atau menyampaikan kepada tuntutan yang bukan khabari (yaitu dalam hal ini hukum syar’i ), atau mencapainya dengan pemikiran yang salah, maka ini bukanlah dinamakan dalil.
Sejalan dengan uraian ini, kita lihat bahwa para ahli hukum Islam menetapkan dan menyusun hukum-hukum dalam kitab-kitab mereka secara sistematis; tidak lupa memberikan dasar yang mereka kemukakan sebagai dalil dan hujjahnya. Dalil-dalil dan hujjah yang mereka kemukakan berkisar sekitar al-Qur’ān, Sunnah, Ijmā’ para Ulama Salaf, Qiyās dan dalil-dalil lainnya, walaupun untuk menerima keseluruhannya terdapat perbedaan pendapat di kalangan mereka. Yang jelas dalil-dalil itu bukan hanya al-Qur’ān dan sunnah saja.
Dalam hal ini timbul pertanyaan, apakah semua dalil hukum yang mereka perpegangi atau seperti tersebut di atas sudah ada pada masa Rasulullah ataukah belum? Kalau belum mengapa dapat ditambah sumber-sumber hukum tersebut.
Untuk menyelesaikan masalah ini perlu penulis mengemukakan gambaran perkembangan hukum Islam dalam pembinaannya secara kesimpulan dari apa yang telah penulis kemukakan pada fasal sebelum ini. Dengan demikian dapat digambarkan:
  1. Pada masa Rasulullah saw pembinaan hukum Islam itu bersumber dari wahyu yang diturunkan Allah. Bila datang suatu persoalan yang menghendaki ketentuan hukum, pada sahabat waktu itu datang kepada Rasul. Lalu Rasul memberi penjelasan, ada kalanya dengan ayat-ayat al-Qur’ān dan ada-kalanya dengan Sunnahnya. Disamping al-Qur’ān dan Sunnah yang telah disebutkan, Nabi juga pernah berijtihad untuk menetapkan hukum, tetapi tidak lepas dari pengawasan wahyu. Bila ijtihād Rasul tidak sampai ke sasarannya, Tuhan menurunkan wahyu teguran kepadanya. Jadi sumber hukum pada masa Rasul adalah al-Qur’ān dan Sunnah.
  2. Setelah Rasul wafat dan wahyu telah terputus, bila datang suatu persoalan, para sahabat mencari ketentuannya dalam kitab Allah. Bila tidak bertemu, mereka mencari dalam Sunnah, bila tidak bertemu juga, mereka mencari dan mengumpulkan pemuka sahabat dan para cendikiawan kemudian mereka memusyawarahkan hal itu. Jika mereka sependapat pada suatu hukum, mereka amalkan kesepakatan itu, bila terjadi perbedaan pendapat, maka mereka memilih pendapat yang lebih menojol kemaslahatannya. Demikian juga pada  masa-masa sesudah sahabat yang pada waktu itu persoalan makin banyak timbul sesuai dengan perkembangan manusia dan perkembangan daerah Islam.
Dalil-dalil hukum pada zaman sahabat dan sesudah mereka ialah:       1) Kitab Allah, 2) Sunnah Rasul, 3) Ijma’ para sahabat, dan 4) Ra’yu atau pendapat yang dihasilkan dengan pemikiran yang mendalam untuk menemukan hukum yang tepat, terutama bila terdapat ta’rud (pertentangan) antara dalil-dalil yang mereka dapatkan.
Dalil hukum yang keempat ini mencakup Qiyās, Saddu Zari’ah, Maslahah Mursalah dan lain-lain yang menghasilkan beberapa aturan/qaedah bagi para mujtahid.
Menurut Yusuf Musā, tentang macam-macam dalil hukum Islam, terdapat tiga pendapat. Ada yang mengatakannya empat, ada yang mengatakan sepuluh dan ada yang mengatakan dua belas. Pada hakikatnya, semuanya  itu kembali kepada empat macam saja, sebagaimana pendapat kebanyakan ulama Fiqh. Dengan mengutip pendapat Khāwārizmi, dia mengatakan bahwa dalil yang disepakati ada tiga macam, yaitu Kitab, Sunnah dan Ijmā’. Sedangkan yang tidak disepakati, ada tiga macam pula, yaitu Qiyās, Istihsan Maslahah Mursalah.[28] Di sini nampaknya Muhammad Yusuf  Musā memandang bahwa jumlah dalil hanya enam saja.
Al-Amidi, dalam Al-Ihkām, membagi dalil kepada dua bahagian, yaitu dalil yang sahih dan wajib diamalkan, dan sesuatu yang dikira dalil sahih, tetapi dia bukan dalil sahih, dengan perincian:

  1. Dalil sahih dan wajib diamalkan:
a.       Yang datang dari Rasul yang dibacakan oleh Malaikat yaitu al-Qur’ān
b.      Yang datang dari Rasul, tetapi tidak dibacakan oleh Malaikat, yaitu Sunnah.
c.       Yang tidak datang dari Rasul, tetapi dia terpelihara dari kesalahan, yaitu Ijmā’.
d.      Yang tidak datang dari Rasul, dan tidak pasti terpelihara dari kesalahan, tetapi dihubungkan kepada nas, yaitu Qiyās.
  1. Dalil yang dikira dalil sahih, padahal dia bukan dalil sahih, yaitu Syar‘u man qablana, Mazhab Shahabi, Istihsān, dan Maslahah Mursalah.[29]
Bila dilihat rumusan Yusuf Musā dan Al-Amidi, terdapat kesamaan, yaitu dari segi kemungkinan macam-macam dalil hukum Islam itu lebih dari empat, tetapi terdapat perbedaan dari segi memandang sahih atau tidak sahihnya, yang kesemuanya tentu membawa kepada terjadinya perbedaan pendapat di kalangan para ulama.
Perbedaan pendapat para ulama itu menimbulkan adanya mazhab-mazhab. Diantara mazhab itu ada yang telah lenyap dan ada yang masih berkembang, ada yang sedikit pengikutnya dan ada yang banyak. Adapun yang paling terkenal dan diikuti oleh banyak umat Islam dari Ahli Sunnah zaman sekarang ialah mazhab yang empat, yaitu : Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
Diantara yang menyebabkan mereka berbeda pendapat, adalah tentang Qiyās. Ada ulama yang lebih banyak mempergunakannya, seperti Imam Abū Hanifah, dan ada pula yang tidak mau menggunakannya, kecuali kalau terpaksa, seperti Imām Ahmad bin Hanbal. Begitupun pada dalil-dalil lain yang dihasilkan dengan Ijtihād. Dari segi lain, dalam mempergunakan dalil yang tidak dipergunakan oleh ulama lain. Begitu pula mereka berbeda pendapat tentang susunan dan urutan derajat dan tingkatan masing-masing dalil.
Menurut Ulama Ahlu Sunnah, dalil-dalil hukum Islam sebagai berikut:
1.      Menurut Imām Abu Hanifah, dalil-dalil hukum adalah:
a.       Kitab Allah
b.      Sunnah Rasul
c.       Ijmā’
d.      Qiyās dan
e.       Istihsan.
2.      Menurut Imām Malik, dalil-dalil  hukum Islam adalah:
a.       Al-Qur’ān al-Karim yang mencakup nas, zāhir, mafhūm, dalil dan tanbih al-ayat.
b.      Sunnah Rasul, yang mencakup, nas, zāhir, mafhūm, dalil dan tanbih al-Sunnah.
c.       Ijmā’
d.      Qiyās
e.       ‘Amal ahl al-Madinah
f.        Qaul al-Sahabat
g.       Istihsan
h.       Saddu al-Zarāi’
i.         Mura’ātu al-Khilāf
j.        Istishab
k.      Maslahah Mursalah
l.         Syar’u man Wablana (Syari’at sebelum Nabi Muhammad saw)
3.      Menurut Imām Syafi’i, dalil-dalil hukum Islam adalah:
a.       Al-Qur’ān al-Karim
b.      Sunnah Rasul
c.       Ijmā’
d.      Qaul al-Sahabat
e.       Qiyās
f.        Istihsab
g.       Syar’u man Wablana (Syari’at sebelum Nabi Muhammad saw)
4.      Menurut Imām
a.       Nas al-Qur’ān
b.      Hadis Marfu’
c.       Qaul/fatwa Sahabat/Ijmā’ Sahabat
d.      Hadis Mursal dan da’if
e.       Qiyās[30]

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan baik jumlah maupun urutan dari dalil-dalil hukum Islam menurut para ulama (yang empat), namun mereka juga mempunyai kesepakatan pada sebahagiannya. Untuk dapat dipahami bahwa:
  1. Mengenai dalil-dalil hukum Islam yang menjadi dasar bagi para ulama untuk menetapkan hukum secara garis besarnya, terbagi kepada nas dan ijtihād. Yang bersumber dari ijtihād berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi suatu daerah hukum. Para ulama dalam mempergunakannya ada yang sependapat dan ada yang berbeda pendapat.
  2. Dalil-dalil hukum Islam yang disepakati diantara mereka adalah:
a.       al-Qur’ān
b.      Sunnah Rasul
c.       Ijmā’
d.      Qiyās.

  1. Dalil-dalil hukum yang mana ulama berbeda pendapat untuk menerima dan mempergunakannya adalah:
a.       Ihtihsān, dipergunakan oleh Imām Abū Hanifah dan Imām Mālik
b.      ‘Amal Ahlu al-Madinah, Saddu al-Zarā’i, Mura’āt al-Khilaf dan Maslahah Mursalah, hanya dipergunakan Imām Mālik
c.       Qaul al-Sahābat, dieprgunakan oleh Imām Mālik, Imām Syafi’i dan Imām Ahmad bin Hanbal
d.      Hadits Mursal dan Hadis Da’if dipergunakan oleh Imān Ahmad bin Hanbal, dengan syarat jika tidak berlawanan dengan sesuatu Asar atau dengan pendapat seseorang sahabat.
e.       Istishāb, dipergunakan oleh Imām Malik dan Imām Syāfi’i.
f.        Syar‘u Man Qablana, dipergunakan oleh Imām Malik dan Imām Syāfi’i.
Lebih lanjut al-Syātibi mengemukakan prinsip-prinsip suatu dalil syara’ sebagai berikut:
  1. Dalil syara’ tidak bertentangan dengan tuntutan akal.
Prinsip ini didasarkan atas:
a.       Kalau ia bertentangan dengan akal, bukanlah ia dalil syara’ untuk hamba yang berakal.
b.      Kalau bertentangan dengan akal, berarti memberikan taklif kepada manusia dengan sesuatu yang ia tidak mampu.
c.       Sumber taklif adalah akal.
d.      Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalil syara’ berlaku menurut akal.
  1. Tujuan pembentukan dalil adalah menempatkan perbuatan manusia mukallaf dalam perhitungannya.
  2. Setiap dalil bersifat kulli. Seandainya ia bersifat (khusus) adalah tersebab oleh hal-hal yang mendatang, bukan menurut asal penempatannya.
  3. Dalil syara’ terbagi kepada Qat’i dan Zanni.
  4. Dalil syara’ terdiri dari dalil naqli dan aqli.[31]
Demikianlah dalil-dalil hukum Islam menurut tinjauan para ulama, dimana dari prinsip-prinsip inilah hukum Islam dipahami sebagai hukum yang universal dan dapat berlaku dalam masa, tempat dan keadaan manapun.

C.     Azas dan Dinamika Hukum Islam
Setiap hukum atau undang-undang adalah untuk mengatur dan melindungi kepentingan manusia. Suatu hukum atau undang-undang bisa bertahan terus menerus apabila dia dapat menjangkau segala segi kehidupan manusia dan sanggup menerima perubahan sesuai dengan perubahan masa, tempat dan keadaan. Dengan kata lain, hukum itu harus dinamis, hidup dan berkembang menurut situasi dan kondisi dalam kehidupan manusia.
Melihat kepada hukum Islam yang merupakan peraturan terakhir dari Allah yang disampaikan oleh Nabi-Nya Muhammad saw, sebagai peraturan bagi setiap keadaan di mana dan kapan saja, tentu hukum Islam juga mempunyai sifat seperti tersebut di atas. Inilah yang akan dilihat dalam uraian berikut.
Dalam menjamin kelangsungannya, hukum Islam mempunyai prinsip-prinsip dan azas-azas.[32] Prinsip dan azas itu adalah:
  1. Meniadakan Kepicikan/Menghilangkan Kemudaratan
Dalam setiap penetapan hukum dalam Islam senantiasa menghindarkan kesempitan dan kepicikan serta selalu melenyapkan kemudaratan. Semua peraturan dan ketentuan-ketentuan, baik suruhan, perintah atau larangan, semua berada dalam batas-batas kemampuan para mukallaf atau sasaran yang dituju oleh peraturan tersebut. Allah menyebutkan dalam firman-Nya.
وجاهدوا في الله حق جهاده هو اجتباكم وما جعل عليكم في الدين من حرج (الحج: 78)
Artinya:
Berjuanglah kamu pada (agama) Allah dengan sebenar-benarnya. Allah telah memilih kamu dan Allah tiada menjadikan kesempitan sedikitpun untuk kamu dalam beragama.(Q.S. Al-hajj: 78).

Juga firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 286:
(۲۸٦ : ﺓﺮـﻗـﺒـﻠ ﺍ) …… ﺎـﻬـﻌـﺴ ﻭ ﻻ ﺍ ﺎـﺴـﻔـﻧ ﷲﺍ ﻒـﻟـﻜـﻴ ﻻ
Artinya :

Allah tiada memberikan kewajiban kepada manusia, kecuali sebatas kemampuannya.


Berdasarkan prinsip-prinsip al-Qur’ān itu, dapat dipahami, bahwa hukum atau segala sesuatu peraturan dalam agama, bukanlah ditujukan untuk memberi dan menyempitkan kehidupan manusia. Sejalan dengan hal ini, kita lihat hukum Taklif dalam ketentuannya (Wad’i) mengenal apa yang dinamakan “Azimah” dan “Rukhsah”. Azimah adalah ketentuan hukum apakah suruhan atau larangan dalam keadaan biasa atau dalam keadaan lapang. Sedangkan Rukhsah adalah suatu ketentuan khusus dalam syari’at yang merupakan kelonggoran dalam mengerjakan suatu tuntutan atau meninggalkan suatu larangan dalam waktu sempit/sulit yang dapat memberati si mukallaf.
Contohnya, mengenai puasa dalam al-Baqarah ayat 183 Allah menjelaskan secara umum, kemudian Allah menyusulnya dalam ayat berikutnya yang merupakan ketentuan-ketentuan pengecualian, yaitu suatu keringanan bagi seseorang dalam waktu atau keadaan tertentu, diterangkan oleh ayat 184:
ﻢﺎـﻴﺃ ﻦـﻣ ﺓ ﺪـﻌـﻔ ﺮـﻔـﺴ ﻰـﻟـﻋ ﻮ ﺃ ﺎـﻀـﻳ ﺮـﻣ ﻡـﻛـﻧـﻣ ﻦ ﺎـﻜ ﻦـﻤـﻔ ﺕ ﺍ ﺩ ﻮ ﺪـﻌـﻣ ﺎـﻣ ﺎـﻴ ﺃ
(١٨٤ : ﺓﺮـﻗـﺒـﻠ ﺍ) ﻦـﻴـﻜـﺴـﻣ ﻡ ﺎـﻌـﻁ ﺔـﻳ ﺪـﻔ ﻪـﻨ طيقوـﻴ ﻦـﻳ ﺫـﻠ ﺍ ﻰـﻟـﻋ ﻮ  ,ﺭـﺧ ﺍ
Artinya:
(Puasa itu) hanya beberapa hari tertentu. Barangsiapa diantaramu yang sakit atau dalam perjalanan, maka (dia berbuka) maka dia hendaklah mengganti puasa di hari yang lain. Bagi orang yang sanggup dengan penuh keberatan melaksanakan puasa, maka berilah fidyah, yaitu memberi makan orang miskin.

Pada ayat 185, Allah secara tegas menjelaskan:
(١٨٥ : ﺓﺮـﻗـﺒـﻠ ﺍ) …. ﺮـﺴـﻌـﻠ ﺍ ﻡـﻜـﺒ ﺪـﻳ ﺮـﻴ ﻻ ﻮ ﺮـﺴـﻴـﻠ ﺍ ﻡـﻜـﺒ ﷲﺍ ﺪـﻴ ﺮـﻴ…..

Artinya:
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran.

Juga dalam keadaan terpaksa (darūrat) Allah memberi kelonggaran dengan membolehkan sesuatu yang dalam keadaan biasa tidak dibolehkan, seperti memakan daging babi, bangkai, darah dan binatang yang disembelih tanpa menyebut nama Allah. Allah menjelaskan dalam Surah al-Baqarah, ayat 173:

ﷲﺍ ﺮـﻳـﻐـﻟ ﻪـﺒ ﻝـﻫ ﺃ ﺎـﻣ ﻮ ﺮـﻴ ﺰـﻧـﺧـﻠ ﺍ ﻡـﺤـﻟ ﻭ ﻡ ﺪـﻟ ا  لميتةﺍ ﻢـﻜـﻳـﻟـﻋ ﻡ ﺮـﺣ ﺎـﻣـﻧ ﺍ
(١٧٣ : ﺓﺮـﻗـﺒـﻠ ﺍ) ﻪـﻴـﻟـﻋ ﻢـﺛ ﺍ ﻼـﻔ ﺪ ﺎـﻋ ﻻ ﻮ ﻍ ﺎـﺒ ﺮـﻳـﻏ ﺮـﻁـﻀ ﺍ ﻦـﻣـﻔ
Artinya:
Allah hanya mengharamkan untukmu bangkai, darah, daging babi dan hewan yang disembelih bukan dengan nama Allah. Tetapi barang siapa yang terpaksa (memakannya) sedangkan dia tidak berbuat aniaya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dari sinilah suatu qaedah yang ditetapkan oleh ahli hukum Islam, yang berbunyi:
[33]ﺕ ﺍﺮلمحـظو ﺍ ﺢـﻴـﺒـﺘ ﺖ ﺍﺮﻭﺮـﻀـﻠ ﺍ
Artinya:
Segala keterpaksaan membolehkan segala yang dilarang (diharamkan)


  1. Mensedikitkan Tugas (Qillat al-Taklif)
Pada pokoknya syari’at Islam itu sederhana. Untuk itu al-Qur’ān melarang para sahabat menanyakan kepada Rasulullah tentang sesuatu ketentuan yang belum ada ketentuan hukumnya. Firman Allah:
ﻢـﻜ ﺆـﺴـﺗ ﻡـﻜـﻠ ﺪـﺒـﺘ نﺍ ﺀياـﺸ ﺃ ﻦـﻋ ﺍ ﻮـﻠـﺋـﺴـﺘ ﻻ ﺍ ﻮـﻧـﻣ ﺁ ﻦـﻴ ﺫـﻠ ﺍ ﺎـﻬـﻴ ﺃ ﺂـﻴ
(١٠١ : ﺓ ﺩـﺌ ﺎـﻣـﻠ ﺍ)
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan tentang beberapa masalah, kalau dijelaskan kepadamu nanti akan menyusahkanmu. (Q.S. Al-Māidah: 101).

Karena dengan banyak pertanyaan, jawabannya sering menimbulkan kesulitan yang tidak mampu melaksanakannya.
Jadi kalau Allah dan Rasul-Nya telah memberikan suatu ketentuan hukum secara umum, maka Islam membenarkan untuk mengamalkannya tanpa meminta penjelasan lebih lanjut, karena kalau harus menunggu penjelasan, maka akan terasa sempit dan memberatkan dalam penungguan dan juga akan menyulitkan terutama bagi yang bertanya.
Berdasarkan prinsip seperti inilah lahirnya patokan umum bagi ahli Usūl Fiqh:
ﺺـﻨ ﺩ ﺮ ﻮـﻣ ﻻ ﺍ ﻡ ﺮـﺤـﻴ ﻼـﻔ م ﺮــﺤـﻠ ﺍ ﻻ ﺔـﺤ ﺎـﺒ ﻻ ﺍ ﺀ ﺎـﻳـﺸ ﻷ ﺍ ﻲـﻔ صل ﻷ ﺍ
[34]ﻪـﻣـﻳ ﺮـﺤـﺗـﺒ
Artinya:
Pokok hukum segala perkara ialah boleh, bukan haram. Karenanya, tidak ada yang diharamkan, kecuali ada nas yang mengharamkannya.

Juga dari sini lahir prinsip-prinsip yang selalu di pegangi oleh para ahli dalam menetapkan hukum. Dalam hal ibadah, prinsipnya adalah memandang dalil, sedangkan dalam hal mu’amalah, memandang ketiadaan dalil. Dalam hal ibadah disebut suatu qaedah:
[35]ﺮـﻣ ﻷ ﺍ ﻰـﻟـﻋ ﻝـﻴـﻟ ﺪـﻠ ﺍ ﻡ ﻭـﻗـﻴ ﻰـﺗـﺣ لبطلان ﺍ ﺓ ﺩ ﺎـﺒـﻌـﻠ ﺍ ﻲـﻔ ﻞـﺼ ﻷ ﺍ
Artinya:
Yang asal dalam ibadat adalah batal, sampai datang dalil yang menyuruhnya.

Sedangkan dalam masalah mu’amalah, prinsipnya adalah:
ﻰﻠﻋ ﻞـﻴـﻟ ﺩـﻠ ﺍ ﻡ ﻮـﻗـﻴ ﻰـﺗـﺤ ﺔـﺤـﺻ ﺔـﻟـﻣ ﺎـﻌـﻣـﻟ ﺍﻮ ﺩﻭـﻗـﻌـﻟ ﺍﻲـﻔ ﻞـﺼ ﻷ ﺍ
[36]ﻡـﻴ ﺮـﺤـﺘـﻟ ﺍ ﻭ ﻦ ﻼﻂـﺒـﻟ ﺍ
Artinya:
Yang asal pada transaksi (akad) dan mu’amalah adalah sah sampai datang dalil yang membatalkan dan yang mengharamkan.

Dengan demikian, prinsip-prinsip pokok dalam menghadapi persoalan yang berkembang, baik ibadat maupun mu’amalah, adalah:
a.       Pada mulanya segala persoalan adalah boleh, artinya ketentuannya tidak mengarah kepada perintah dan larangan.
b.      Dalam masalah ibadat, kita hanya dituntut, untuk mengerjakan apa yang disuruh. Dengan arti kata, bahwa masalah ibadat, tak ada diberi kebebasan untuk mengembangkan dari apa yang telah ditentukan, sehingga ibadat akan tetap sejak dari awal sampai akhir masa.
c.       Dalam bidang mu’amalah, pada pokoknya, semua persoalan boleh untuk dilakukan, kecuali apabila ada larangannya dalam syari’at Islam. ini menunjukkan keluasan dan kelapangan yang ditemui dalam syari’at Islam, sehingga diberi kebebasan untuk mengembangkan diri sesuai dengan situasi dan kondisi.
  1. Pensyari’atan Hukum Secara Berangsur-angsur
Pada mulanya, pensyari’atan hukum dalam Islam senantiasa memperhatikan tingkat kecerdasan manusia dan mempertimbangkan situasi dan kondisi dari masyarakat yang dihadapi oleh hukum itu sendiri.
Sebagai contoh, dapat diperhatikan penerapan larangan minuman keras dan judi. Sebelum Hukum Islam disampaikan Nabi Muhammad saw, keadaan bangsa Arab jahiliyah mempunyai kebiasaan berjudi dan minum khabar atau minuman keras. Dengan mempertimbangkan kebiasaan yang telah mendarah-daging seperti ini – yang memang sulit untuk merubahnya secara cepat dan sekaligus, maka Allah menghadapkan hukum kepada masyarakat yang seperti ini dengan cara berangsur-angsur. Mulanya Allah menurunkan ayat 219 al-Baqarah:


يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا

Artinya:
Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi, katakanlah, pada keduanya terdapat dosa besar dan mempunyai manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar dari manfaatnya.

Dalam ayat ini tidak ada terlihat larangan yang tegas dan pasti mengenai hukum minum khamar dan judi, hanya Allah memberikan pengertian dan pertimbangan dengan memperbandingkan dosa dan manfaat dari kedua perbuatan itu. Kemudian setelah beberapa waktu, setelah kebenaran tersebut mulai meresap ke dalam dada sebagian orang Arab Islam, maka Allah menurunkan pula ayat 43 surat al-Nisā’:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ 
Artinya;
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati shalat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan.

Dalam ayat ini belum ditemui larangan tegas yang ditujukan untuk menghentikan minum khamar dan judi, tetapi dapat dipahami bahwa ayat ini memperkuat keburukan yang diakibatkan oleh mabuk sampai dilarang melaksanakan shalat dalam keadaan mabuk. Kemudian barulah turun ayat yang terang ditujukan untuk menjauhi dan menghentikan minuman keras dan judi, seperti tersebut dalam surat al-Māidah ayat 90-91:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ 
Artinya:
Hari orang-orang yang beriman, sesungguhnya kamar (minuman keras), judi, (menyembah) berhala dan mengundi-undi nasib adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan syethan. Oleh sebab itu maka jauhilah perbuatan itu, agar kamu mendapat kemenangan. Sesungguhnya syethan itu hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran meminum khamar dan berjudiitu dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat. Maka apakah kamu tidak akan menghentikannya?

Ayat ini secara tegas melarang, dengan mengatakan, bahwa perbuatan itu adalah keji yang termasuk perbuatan syetan, yang kemudian dilarang secara tegas dengan “ﻩ ﻭـﺒـﻨـﺗـﺠ ﺎـﻔ
Begitulah salah satu contoh dari hukum Islam, bahwa penerapannya secara berangsur-angsur, agar dapat diterima, melekat dan mantap bagi orang yang menerimanya. Apakah hal ini juga berlaku zaman sekarang dalam rangka menerapkan hukum syari’at atau tidak? Penulis sengaja tidak membahasnya.
  1. Memperhatikan Kemaslahatan Manusia
Setiap pembentukan hukum Islam selalu memperhatikan dan mempertimbangkan kemaslahatan manusia yang akan memikul taklif (tanggungjawab) tersebut. Bahkan kemaslahatan ini merupakan tujuan dan maksud dari penetapan hukum tersebut,[37] yang dipegangi oleh kebanyakan ulama Fiqh.
Salah satu contoh dapat dilihat dalam hal amar ma’ruf nahi munkar dalam ayat berikut:

يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ...
Artinya:
…. Rasul menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang munkar; dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk ….. (Q.S. Al-A’rāf: 157)

Adanya suruhan berbuat baik ini adalah supaya manusia hidup selamat dan bahagia, larangan berbuat mungkar, supaya manusia itu terhindar dari malapetaka dan bahaya dari perbuatan tersebut. Dibolehkan memakan yang baik-baik, agar manusia hidup sehat. Sebaliknya diharamkan memakan makanan yang buruk dan keji, sebab yang buruk dan keji tersebut akan merusak dan membahayakan kehidupan manusia. Oleh sebab itu adanya larangan dan suruhan dalam ayat ini begitu pula dalam semua ketentuan hukum adalah memperhatikan kemaslahatan manusia.
  1. Mewujudkan Keadilan Yang Merata
Manusia dalam pandangan Allah sama, tidak ada berlebih berkurang satu sama lain. Islam tidak membedakan warna kulit, bangsa dan keturunan. Dalam Islam tidak dikenal adanya kasta-kasta dan golongan, tetapi meskipun ada suku bangsa dan golongan adalah untuk saling kenal mengenal sesamanya, sebagaimana firman Allah:
ﺎـﺒ ﻮـﻌـﺸ ﻡـﻛ ﺎـﻧـﻟـﻌـﺠ ﻮ ﻰـﺜـﻨ ﺃ ﻮ ﺮـﻜ ﺫ ﻦـﻣ ﻡـﻛ ﺎـﻨـﻗـﻠـﺨ ﺎـﻧ ﺍ ﺲ ﺎـﻨـﻟ ﺍ ﺎـﻬـﻴ ﺃ ﺂـﻴ
ﺭـﻴـﺒـﺨ ﻢـﻴـﻠـﻋ ﷲﺍ ﻦ ﺍ ﻡـﻜ ﺎـﻗـﺘ ﺃ ﷲﺍ ﺪـﻨـﻋ ﻡـﻛـﻤ ﺮـﻜ ﺃ ﻦ ﺍ ﺍﻮـﻓ ﺮ ﺎـﻌـﺗـﻠ قبائل
(١٣ : ﺖ ﺍ ﺮـﺠـﺤـﻠ ﺍ)
Artinya:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menjadikan kamu dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang termulia di antara kamu pada sisi Allah adalah orang yang lebih taqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Tahu. (Q.S. al-Hujurāt: 13)

Hukum Islam dalam geraknya menyertai perkembangan manusia, mempunyai qaedah asasiayah, yaitu ijtihād.[38] Dan ijtihadlah yang akan menjawab segala tantangan masa.
Dalam menghadapi pergolakan zaman yang serba maju, hukum Islam mempergunakan teori takamul, wasatiyah dan harakah[39] dengan menempuh jalan-jalan berikut:
1.      Sistem istidlal (menemukan dalil) dalam hukum Islam adalah melalui istiqrah, yaitu mencari sesuatu perluasan dari sesuatu yang juz’i (khusus) dan mencari ‘illat dari ma’lul.
2.      Dalam masalah ibadah, hukum Islam memperhatikan kondisi seseorang, baik usia lanjut, kemampuan akal, kesehatan, dalam keadaan menetap dan perjalanan maupun dalam kemudahan dan kesulitan.
3.      Islam senantiasa menghendaki kesempurnaan, keseimbangan, senantiasa memberikan kesempatan berkembang.
4.      Hukum Islam selalu mempertemukan syara’ yang manqūl (diriwayatkan dari Allah) dengan hakikat penalaran.
5.      Hukum Islam mempersatukan ilmu pengetahuan dengan unsur kejiwaan.
6.      Hukum Islam tidak menghendaki materialisme yang bebas sebagaimana tidak menghendaki idealisme yang tidak berwujud kenyataan.
7.      Hukum Islam tidak menghendaki marxisme dan tidak membenarkan kapitalisme, karena komunisme mengorbankan kemerdekaan demi keadilan, sedangkan kapitalisme mengorbankan keadilan sosial demi kepentingan individu.
8.      Hukum Islam tidak mengadakan pertentangan antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat.
9.      Hukum Islam tidak menceraikan agama dengan kehidupan.
10.  Hukum Islam tidak meletakkan individu di bawah tekanan masyarakat, hukum Islam memberikan kepada individu harga diri, kebebasan berpikir dan bergerak.
11.  Hukum Islam senantiasa mempertalikan manusia dengan Allah dan sesama manusia serta dengan lingkungannya.
12.  Hukum Islam memberikan harapan kepada manusia untuk memperoleh kesuksesan dalam kehidupan di alam dunia dan di akhirat.
13.  Hukum Islam mengadakan perikatan politik dengan akhlak.
14.  Pola pemikiran Islam berwujud tawazun (perimbangan) antara akal dan ruh, berwujud wasathiyah antara ruh dengan materi dan berwujud harakah dalam perkembangannya.
15.  Pola pemikiran Islam membentuk dirinya sesuai dengan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat, karena pola pemikiran Islam bukan bersendikan akal semata, tidak pula bersendikan jiwa semata, tetapi terdiri atas dasar pertimbangan yang sesuai dengan fitrah.
16.  Hukum Islam mempunyai akar yang tetap dan teguh, tidak akan bergoyang (Usulnya mempunyai ketentuan yang tetap) namun cabang dan ranting yang mempunyai tempat berpijak yang teguh tersebut berkembang dan bergerak (hukum furū’ akan berkembang tanpa meninggalkan usulnya).[40]
Oleh sebab itu hukum Islam dengan sifatnya yang demikian itu mempunyai sifat konstan dan stabil. Dalam pada itu mempunyai cabang yang bisa dikembangkan sesuai dengan perkembangan masa, lingkungan dan keadaan. Sehingga dengan demikian, hukum Islam akan lestari dan tangguh untuk menghadapi semua tantangan masa, mampu menentukan aturan-aturan mengenai semua tingkah laku manusia. Hukum Islam bukanlah kaku dan beku, tetapi terbuka dan berkembang menerima pembaharuan. Tentu saja perkembangan ini berlaku dalam hal-hal yang berhubungan dengan situasi dan kondisi manusia mengalami perubahan, yaitu yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan sesamanya dan lingkungannya.
Di sinilah terlihat bahwa hukum Islam merupakan suatu nizam (aturan) yang syāmil (universal), wāsi’ (luas), dan kulli (berlaku umum). Perkembangan hukum Islam begini adalah dengan penalaran sistematis yang disebut ijtihād.

D.    Tujuan Hukum Islam
Para sarjana Ilmu Hukum telah mengemukakan tujuan hukum itu dengan ungkapan-ungkapan yang berbeda, diantaranya:
Menurut Van Kan, hukum bertujuan menjaga kepentingan setiap manusia, supaya kepentingan itu tidak dapat diganggu.[41]
Tegasnya, hukum mengandung suatu pertimbangan kepentingan mana yang lebih besar diantara beberapa kepentingan, maka kepentingan masing-masing anggota masyarakat yang berbeda dibatasi oleh hukum, agar dengan demikian tercapai suatu keseimbangan dalam masyarakat satu sama lain. Keseimbangan akan tercapai bila hukum mempergunakan keadilan untuk membatasi kepentingan masing-masing orang.
Menurut Van Apeldorn, tujuan hukum ialah mengatur tata tertib dalam masyarakat secara adil dan damai.[42] Sementara Bolle Froid menegaskan bahwa hukum itu berisi dua azas, yaitu keadilan dan ada faedah.[43]
Dari beberapa perumusan di atas, dapat difahami bahwa tujuan hukum itu ialah mengatur tata tertib dalam masyarakat, secara aman dan damai agar kepentingan-kepentingan setiap anggota masyarakat dapat terjamin, sehingga keadilan akan terwujud dalam masyarakat.
Nampaknya hukum umum memandang bahwa hukum hanyalah mengatur hubungan manusia dengan manusia, yang hanya mereka melakukan hubungan hukum di atas dunia ini, tanpa melihat akibat-akibat untuk kehidupan masa akhirat.
Bila dilihat hukum Islam, maka faktor-faktor pribadi, masyarakat dan kemanusiaan dirangkaikan dan disejajarkan dengan akhlak. Hukum Islam mengutamakan akhlak, supaya manusia berbuat baik dan tidak berbuat jahat, sehingga ketentraman, kedamaian dan kepentingan-kepentingan anggota-anggota masyarakat dapat terjamin. Dengan demikian dapat terwujud kemaslahatan para hamba di dunia dan akhirat.
Nas-nas Al-Qur’ān begitupun hadis bila dilihat secara cermat, menandaskan bahwa tujuan hukum adalah mencegah kerusakan terhadap manusia dan mendatangkan kemaslahatan bagi mereka, mengendalilan dunia dengan kebenaran, keadilan dan kebajikan serta menerangkan rambu-rambu jalan yang dilalui dihadapan akal manusia.[44]
Manfaat yang diperoleh dari mematuhi perintah Allah dan kerusakan yang diderita lantaran mengerjakan maksiat, kembali kepada mukalaf sendiri, baik kepada perorangan maupun kepada masyarakat.
Hukum-hukum Islam datang menjadi rahmat bagi umat manusia, bahkan bagi segenap alam. Rahmat tersebut tidak dapat diwujudkan, bila hukum-hukum itu tidak mendatangkan kemaslahatan bagi manusia. Allah berfirman:
ﺮ ﻮ ﺩـﺼـﻠ ﺍ ﻲـﻔ ﺎـﻤـﻠ ﺀ ﺎـﻔـﺸ ﻮ ﻡـﻜـﺒ ﺮ ﻦـﻣ ﺔﻅـﻋ ﻭـﻣ ﻡـﻜـﺘـﺋ ﺎـﺠ  قد ﺲ ﺎـﻨـﻟ ﺍ ﺎـﻬـﻴ ﺃ ﺂـﻴ
(٥٧ : ﺲـﻨ ﻮـﻴ) .ﻦـﻴـﻨـﻣ ﺆـﻣـﻠـﻠ ﺔـﻣـﺤ ﺮ ﻮ ﻯ ﺪـﻫﻮ

Artinya:
Wahai manusia, telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penawar bagi penyakit dalam hati serta petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Q.S. Yunus: 57).

Prof. Hasbi mengemukakan bahwa tujuan syar’i  mensyari’atkan hukum adalah untuk kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan inilah yang tetap terwujud dalam segala hukum Islam. tak satupun hukum Islam yang tidak mengandung kemaslahatan yang hakiki, walaupun kemaslahatan itu tidak tampak bagi sebagian orang.[45]
Abū Zahrah mengatakan bahwa tujuan hukum Islam itu diarahkan kepada tiga hal:
  1. Mendidik individu agar sanggup menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan tidak menimbulkan kejahatan sedikitpun. Hal ini terkandung dalam nilai-nilai ibadah, bahkan ibadah bukan hanya mendidik manusia individu, tapi juga mendidik dalam rangka hubungan individu dengan masyarakat.
  2. Menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat Islam, baik terhadap sesama muslim maupun pihak non muslim. Adil meliputi semua aspek kehidupan. Perwujudan keadilan sosial dalam Islam – misalnya – pada persamaan semua individu di hadapan hukum, tanpa ada perbedaan status sosial. Manusia dimuliakan Tuhan berdasarkan kadar ketaqwaannya kepada Allah.
  3. Mewujudkan kemaslahatan dalam kehidupan manusia secara hakiki. Semua ketentuan hukum dalam kitab dan Sunnah, pasti mengandung kemaslahatan yang hakiki, walaupun tidak diketahui oleh semua orang.[46]
Kemaslahatan yang dituju oleh hukum Islam bukanlah yang sesuai dengan kehendak hawa nafsu manusia dan bukan pula kemaslahatan semu, tetapi kemaslahatan hakiki yang universal. Maslahah hakiki dan universal yang dituju oleh syara’ adalah meliputi hal-hal menarik manfaat dan menolak yang mafsadah. Al-Ghazali mengatakan :
Menarik manfaat dan menolak kemudlaratan (kerusakan) adalah tujuan-tujuan makhluk dan kebaikan mereka dalam mewujudkan tujuan-tujuan tersebut. Tetapi yang kita maksud dengan maslahah adalah yang dapat memelihara tujuan syara’. Tujuan syara’ terhadap makhluk ada lima macam, yaitu, memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Setiap yang menjamin terwujud dan terpeliharanya tujuan pokok ini adalah maslahah. Setiap yang menyebabkan hilangnya lima pokok ini adalah mafsadah. Sebaliknya menghilangkan mafsadah itu adalah maslahah.[47]

Setiap penetapan hukum selalu  memperhatikan maslahah dan mafsadahnya ini. Apalagi terhadap hal-hal yang tidak ada penegasannya dalam nash dan ijmā’, maka dalam berijtihad untuk menetapkan hukum, harus memperhatikan maslahah dan menghindarkan mafsadah. Karena dengan mewujudkan apa yang sesuai dengan kehendak dan tujuan syar’i  berarti mentaati Allah dan Rasul-Nya.
Maslahah yang hendak diwujudkan oleh hukum Islam, terdiri dari tiga tingkatan, yaitu darūry, hājjy dan tahsiny.
Maslahah Darūry ialah sesuatu yang tanpa maslahah itu kemaslahatan yang lima (pokok) itu tidak dapat terwujud. Maslahah Hājiyah yaitu suatu maslahah yang bertujuan bukan untuk memelihara yang lima pokok tersebut, tetapi untuk menghindarkan kesulitan dan kesukaran atau untuk berhati-hati dalam memelihara lima tujuan pokok tersebut. Sedangkan Maslahah Tahsiniyyah bertujuan bukan untuk maslahah yang lima dan bukan untuk berhati-hati dalam memeliharanya, akan tetapi untuk menghilangkan rasa takut, memelihara kemuliaan dan memelihara lima tujuan pokok tersebut.[48]
Bila dikaitkan prinsip-prinsip maslahah (menarik manfaat dan menolak mafsadah)  ini dengan hukum Islam yang terbagi kepada lima macam (yaitu, wājib, sunnat, haram makrūh dan ibāhah), maka tentu saja maslahah itu berlebih berkurang, sesuai dengan ketentuan taklifnya. Ketentuan hukum yang berupa tuntutan mengerjakan atau tuntutan untuk meninggalkan yang termasuk kategori jāzim (wājib dan haram) menunjukkan bahwa maslahah yang hendak diwujudkan dengan ketentuan hukum itu adalah maslahah darūry dan hājjy, sedangkan  tuntutan yang termasuk kategori gairu jāzim (sunat dan makruh) adalah maslahah tahsiny. Dalam hal-hal yang tidak ditemukan tuntutan, baik memperbuat maupun meninggalkan (suatu kebolehan, ibāhah), maka peranan pencarian apakah di dalamnya maslahah atau tidak, diberikan kepada penalaran yang sehat dengan ijtihād.
Selanjutnya Abū Zahrah mengutip pendapat Izzu al-Din Abd Al-Salām tentang tingkatan maslahah itu terbagi kepada tiga, yaitu:
  1. Maslahah yang diwajibkan Allah untuk manusia. Maslahah ini mempunyai tiga tingkatan, yang paling utama, yang pertengahan dan yang utama. Yang paling utama adalah menolak bahaya yang paling buruk dan mendatangkan manfaat yang paling kuat. Yang utama adalah menolak bahaya dan mendatangkan manfaat, sedangkan yang pertengahan, adalah antara keduanya. Dengan demikian, kemaslahatan mempunyai tingkatan, meskipun hukumnya adalah wājib.
  2. Sesuatu yang dianjurkan Allah (Sunnat) yang berguna untuk perbaikan bagi para manusia.
  3. Yang mubāh, meskipun mubah ia tak terlepas dari maslahah.[49]
Meskipun maslahah mempunyai tingkatan-tingkatan seperti tersebut di atas, namun dapat difahami bahwa  hukum Islam membawa kemaslahatan bagi umatnya. Hukum bertujuan agar manusia dapat hidup aman, tentram dan damai serta terhindar dari segala yang akan merusak kepada seseorang ataupun masyarakat, duniawi dan ukhrāwi.

E.     Sistematika Hukum Islam

Hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an yang dijelaskan dengan Sunnah Rasul, begitupun dengan dalil-dalil lain, mencakup tiga macam pokok, yaitu:

1.      Hukum i’tiqādiyah, yaitu yang mengatur hubungan ruhaniah antara manusia dengan Tuhan dan hal-hal yang berhubungan dengan keimanan. Hukum dalam bidang ini kemudian berkembang menjadi  ilmu-ilmu ushuluddin.
2.      Hukum-hukum khuluqiyah yang menyangkut tingkah laku dan moral lahir manusia dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Hukum ini kemudian berkembang menjadi ilmu akhlak.
3.      Hukum-hukum amaliyah yang menyangkut hubungan lahiriyah antara manusia dengan Tuhannya, dengan sesama manusia dan dengan alam sekitarnya. Hukum-hukum ini berkembang menjadi ilmu syari’ah.[50]

Tiga macam pokok hukum Islam ini meliputi dua hubungan yang harus dilakukan oleh manusia, yaitu:
  1. Hubungan manusia dengan Allah (hubungan vertikal);
  2. Hubungan manusia sesama manusia (hubungan horizontal) yang di dalamnya juga masuk hubungan manusia dengan semua alam lingkungannya.
Seandainya manusia tidak melakukan kedua hubungan tersebut, maka Allah akan memberikan siksaan kepada manusia. Firman-Nya:
ﺲ ﺎـﻧـﻠ ﺍ ﻦـﻣ ﻞـﺒـﺣ ﻭ ﷲﺍ ﻦـﻤ ﻞـﺒـﺣـﺒ ﻻﺍ ﺍﻭـﻔـﻘـﺜ ﺎـﻣـﻨـﻴ ﺍ ﺔـﻠ ﺫـﻠ ﺍ ﻢـﻬـﻴـﻟـﻋ ﺖـﺒ ﺮـﺿ…
(١١٢ : ﻦ ﺍ ﺮـﻣـﻋ ﻝ ﺁ)


Artinya:
Ditimpakan kehinaan kepada mereka (manusia) dimana saja mereka berada, kecuali mereka (yang memelihara hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia. (Q.S. Ali Imrān: 112).

Kembali kepada pembahasan tentang hukum Islam pada awal bab ini, dimana hukum Islam ada yang dalam arti syari’at dalam artian yang luas dan syari’at dalam arti yang sempit, yaitu fiqh. Apa yang disebut tiga macam pokok hukum yang ada dalam Islam, adalah meliputi syari’ah dalam arti luas, sedangkan syari’ah dalam artian yang sempit adalah yang berhubungan dengan hukum-hukum amaliyah, yang kemudian disebut dengan ilmu syari’ah. Inilah yang dibahas dalam masalah fiqh.
Setelah memperhatikan pemikiran tentang hukum Islam, maka sistematika penyusunan akan terlibat adanya perbedaan antara satu kitab dengan kitab lainnya. Diantaranya ada yang membagi kepada empat, seperti bahagian ibādah, mu’āmalah, munākahah dan jināyat, yang disebut dengan rubu’-rubu’nya dan ada juga mempunyai pembagian lain, sesuai dengan sudut pandangan mereka.
Adapun susunan hukum Islam yang meliputi empat bagian itu adalah:
  1. Hukum ibādāt (dalam arti khusus), yaitu ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan lahiriyah antara manusia dengan Tuhan, seperti shalat, puasa dan ibadat pokok lainnya. Ibadat dalam arti umum akan meliputi semua tingkah laku manusia yang dihubungkan dengan Allah (rida-Nya).
  2. Hukum-hukum mu’āmalah dalam arti luas, yaitu ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan manusia sesamanya dan dengan alam lingkungannya. Hukum-hukum mu’āmalat ini bila diperinci menjadi beberapa bidang hukum:
a.       Hukum mu’amalat (dalam arti khusus) atau hukum perdata, yaitu ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan manusia dengan manusia yang menyangkut harta benda atau kebutuhan akan harta.
b.      Hukum perkawinan, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran kebutuhan biologis dan hak serta kewajiban yang berhubungan dengannya.
c.       Hukum waris, yaitu ketentuan yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya yang menyangkut harta benda dan hak yang tersebab oleh adanya kematian.
d.      Hukum jināyat (pidana), yaitu ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut kejahatan terhadap jiwa, kehormatan, akal dan lainnya.
e.       Hukum murāfa’āt (acara), yaitu ketentuan yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya yang bersangkut dengan cara mendapatkan hak di pengadilan.
f.        Hukum dustūriah (tata negara), yaitu ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut kehidupan beragama dan bernegara dan berbangsa.
g.       Hukum dualiyah (antar bangsa), yaitu ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, yang berbeda negara atau agama dalam keadaan perang atau damai.[51]
Walaupun  terdapat perbedaan diantara berbagai kitab fiqh, namun hukum fiqh membahas ketentuan-ketentuan dari semua hubungan yang dilakukan oleh manusia.
Ada dua hubungan yang dilakukan oleh manusia – ibāhah dan mu’āmalah – dalam hukum-hukum yang mengatur ibadah mahdhah, tidak ada peluang untuk mengadakan pengembangan, sebab hukum-hukum ibadah telah secara jelas dan rinci penjelasannya oleh syar’i . Akan tetapi yang berhubungan dengan mu’āmalah (hubungan manusia sesamanya), disebabkan syar’i  memberi penjelasan yang lebih banyak secara global dan manusia cenderung untuk berkembang/mengalami perubahan, maka hukum-hukum mu’amalah pun cenderung untuk berkembang dan mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan dan perubahan manusianya.






*Disampaikan dalam Mata Kuliah Hukum Islam di Indonesia, Program Studi Ahwal Al Syakhsiyah, Jurusan Syari’ah STAIN Cirebon.
[1] Hazairin, Hukum Islam dan Masyarakat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1963), hlm. 23.
[2] Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam,  (Jakarta : Bulan Bintang,1975), hlm. 31.
[3] Muhammad ibn Muhammad Abū Syuhbah, Al-Hudūd fi al-Islām, (Mesir: Maktabah al-Qāhirah, 1974), hlm. 12
[4] Muhammad Salām Madzkūr, Al-Fiqh al-Islāmi, II, (Kairo: Maktabah Abdul Wahab, 1955), hlm. 11.
[5] Mahmūd Syaltūt, Al-Islāmi ‘Aqidah wa Syari’ah (tnk: Dār al-Qalam,  1966), hlm. 12.
[6] Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: CV. Mulya, 1967), hlm. 11
[7] Saifudin Abi al-Hasan ibn Ali ibn Muhammad al-Amidi, Al-Ihkām fi Ushū al-Ahkām, I, (Kairo: Al-Halabi, 1968), hlm. 135.
[8] Ibid.
[9] Taib Hasan Najjār, Tafsir al-Usul, (Mesir: Syubrā, 1947), hlm. 13.
[10] Al-Amidi, Loc.cit.
[11] Ibid.
[12] Lihat Abū Zahrah, Usūl Fiqh, (Kairo: Dār al-Fikr,  1958), hlm. 27-28; Abul Wahab Khalaf, Ilmu Usul Fiqh, (Jakarta: Dewan Da’wah Islamiah Indonesia, 1972), hlm. 111.
[13] Untuk lebih terperinci mengenai definisi dan penjelasan yang lebih lengkap, dapat dilihat dari beberapa sumber yang membahas tentang hukum syar’i, diantaranya: Abdul Wahab Khalāf, Ilmu Usul Fiqh,op. cit., hlm. 105-126; Abu Zahrah, Usul Fiqh, op.cit., hlm. 28-64; Muhammad Khudari Bek. Usul Fiqh, op.cit., hlm. 20-66; dan juga lainnya.
[14] Abdul Wahāb Khalāf, op.cit., hlm. 101; bandingkan dengan Abu Zahrah, op.cit., hlm. 27.
[15] Abdul Wahāb Khalāf, op.cit., hlm. 101; bandingkan dengan Abu Zahrah, op.cit., hlm. 55
[16] Abdul Wahāb Khalāf, op.cit., hlm. 117
[17] Abdul Wahāb Khalāf, op.cit., hlm. 100
[18] Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, (Padang: Angkasa Raya, 1990), hlm. 15.
[19] Ibid.
[20] Muhammad Ali al-Sāyis, Nasy-at al-Fiqh al-Ijtihadi wa at waruhu, (Al-Azhar; Silsilat al-Buhus al-Islamiyah, 1970), hlm. 9
[21] Abdul Wahāb Khalāf, op.cit., hlm. 11
[22] Lihat: Umpamanya, Abdul Wahāb Khalāf, Mashādir al-Tasyri’ al-Islāmi fi mā lā nassa fih, dan Ilmu usūl Fiqh; Yusuf Musa, Al-Madkhal fi al-Fiqh al-Islāmi; Subhi Mahmasani, Falsafat al-Tasyri fi al-Islāmi.
[23] Amir Syarifuddin, op.cit., hlm. 21
[24] Abd al-Wahāb Khalāf, Ilmu Usūl …., op.cit.hlm. 20
[25] Ibid.
[26] Ibid
[27] Taj al-Din ibn Abd al-Wahāb al-Subki, Jāmi’ al-Jawāmi, (Mesir: Babil Halab, 1937), hlm. 124
[28] Al-Amidi, op.cit., hlm. 119-120
[29] Al-Amidi, op.cit., hlm. 119-120
[30] Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar …..Op.cit., hlm.110-118, Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, (Jakarta: CV. Al-Hidayah, tt.) hlm. 7-10
[31] Lihat: Abū Ishāk Al-Syātibi, Al-Muwāfaqātu fi Usūl al-Ahkām, Juz III, (Kairo: Muhammad Ali Subih, 1970), hlm. 15-16; Amir Syarifuddin, op.cit., hlm. 22
[32] Lihat: Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah ….,op.cit., hlm. 73-82.
[33] Jalāl Al-Din al-Suyūti, Al-Asybāh wa al-Nazāir fi al-Furu’, (Tnk: Amin Muhammad al-Didi, tt), hlm. 60; Abdul Hamid Hakim, Mabādi Awaliyah, (Padang Panjang: Sa’diyah Putra, 1971), hlm. 42
[34] Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah …. Op.cit., hlm. 77
[35] Muhammad Rasyid Rida, Tafsir Al-Manār, Juz VII (Mesir: Maktabah Al-Qahirah, 1964), hlm. 161.
[36] Ibid
[37] Al-Syātibi, Al-Muwāfaqātu fi al-Usūl al-Ahkām,  Juz II, hlm. 2
[38] Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah …, Op.cit., hlm. 108
[39] Ibid.
[40] Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah ….. op.cit., hlm. 105-106
[41] E. Utrech, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Buku Bachtiar, 1962), hlm. 24
[42] L.J. Van Aperldorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Noor Kolli, 1959). Hlm. 20.
[43] E. Utrech, loc.cit.
[44] Muhammad Ali Al-Sāyis, Tārikh al-Fiqh al-Islāmi, hlm. 5
[45] Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah…..,op.cit., hlm. 180
[46] Abū Zahrah, Usūl ….op.cit. hlm. 289-291
[47] Abū Hāmid al-Gazali, Al-Mustafā, (Mesir: Al-Amiriyah, 1939), hlm. 251.
[48] Abū Zahrah, Usūl…. Op.cit., hlm. 294-295.
[49] Ibid., hlm. 297 - 298
[50] Amir Syarifuddin, loc.cit.
[51] Ibid., hlm. 33-34, tentang materi-materi hukum dari semua ketentuan hukum di atas dapat dilihat dalam Pengantar Ilmu Fiqh, oleh Hasbi Ash-Shiddieqy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar