Minggu, 18 Desember 2011

Pendapat tentang dikerjakannya Shalat Duhur setelah Shalat Jum'at







Dalam surat Al Jumu’ah ayat 9, Allah berfirman yang kurang lebih artinya, “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli”. Tentu ayat Al Qur’an ini secara terang telah menandaskan kedudukan dan dasar hukum sholat jum’at. Tetapi jika anda ingin lebih memahami alur logika dan dasarnya secara lebih mendalam, maka kami kutipkan salah satu kitab Fiqh yang bernama Al Bajuri juz 1 hal 219, di mana dicantumkan beberapa hal berikut:

Pertama
Dalam ayat Al qur’an tersebut di atas terdapat ‘larangan’ (dalam tanda petik) jual beli, padahal jual beli itu asal hukumnya adalah mubah/boleh-boleh saja. Ini berarti telah terdapat suatu larangan akan sesuatu yang sebelumnya diperbolehkan. Dan dalam logika Fiqh dicantumkan: bahwa tidak ada larangan atas sesuatu yang sebelumnya diperbolehkan kecuali dikarenakan adanya “sesuatu hal” yang mempunyai predikat hukum “wajib”. “Sesuatu hal” itu tiada lain adalah sholat Jum’at. Berarti kesimpulannya: Sholat Jum’at adalah wajib.

Kedua
Dalam riwayat Imam Ahmad ibn Hambal disebutkan bahwa Sy. Umar bin Khattab berkata, “Sholat Jum’at adalah dua rekaat sesuai yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dan itu sudah sempurna, bukan merupakan sholat dhuhur yang diqashar”
Pernyataan Sy. Umar ini berikutnya menjadi salah satu bahan kajian oleh para fuqaha (Ulama Fiqh) yang kemudian pada gilirannya menimbulkan perbedaan pendapat “secara teoritis” antara apakah sholat jum’at itu pada hakekatnya merupakan sholat dhuhur yang diqashar ataukah ia merupakan sholat yang sejatinya berdiri sendiri?. “Perbedaan teoritis” seperti ini pada tahapan selanjutnya tidak menghasilkan ‘perbedaan praktikal’ karena semua fuqaha sepakat bahwa Sholat Jum’at bagi kaum lelaki sudah menggugurkan kewajiban sholat dhuhur.
Hadist Ibnu Abbas tentang Shalat Jum’at, Rasulullah s.a.w. bersabda , “Apabila datang waktu siang hari Jum’at maka shalatlah dua rakaat”. (H.R. Dar Qutni).
Seandainya sholat dhuhur masih wajib, maka Rasulullah s.a.w. tentu tidak memerintahkan hanya dua rakaat saja. Kemudian apa yang dilakukan Rasulullah s.a.w. dan para shabatnya juga menunjukkan tidak ada lagi shalat dhuhur setelah shalat Jum’at, ini riwayat yang tidak terhitung jumlahnya. Jadi tidak ada dalil yang melandasi shalat dhuhur setelah shalat jum’at, karena shalat Jum’at telah mengganti shalat Dhuhur.
Akhir-akhir ini ada beberapa fatwa di masyarakat yang mengatakan bahwa setelah sholat Jum’at masih diwajibkan sholat dhuhur. Dalam hal ini hendaknya umat Islam kita hati-hati dalam masalah menjalankan ibadah, karena “al-ashlu fil ibadah al-hurmah”, pada dasarnya ibadah dilarang sampai ada dalil yang memerintahkannya. Ibadah yang tidak ada landasannya yang jelas hukumnya haram dan dilarang agama.


Ada fatwa dari mazhab Hanafi yang mengatakan bahwa “mendirikan solat jum’at di tempat yang berbeda-beda dan di masjid yang lebih dari satu, tetap sah walaupun dilaksanakan dalam waktu yang tidak bersamaan. Namun hal tersebut harus diyakini oleh peserta salat jum’at bahwa masjidnya lah yang paling dulu mendirikan salat jum’at. Kalau dia tahu bahwa masjid yang lain mendahuluinya, maka wajib baginya untuk mendirikan salat duhur. Apabila ia ragu-ragu apakah masjidnya yang dahulu atau yang lain, maka disunnahkan kepadanya untuk mendirikan salat dhuhur. Namun sebaiknya mendirikan salat dhuhur tersebut di kediaman, bukan di masjid umum, agar tidak dinilai orang sebagai hal yang wajib”.
(www.eramuslim.com)

Apabila  seseorang telah menunaikan shalat jumat, maka tidak ada lagi baginya kewajiban untuk melakukan shalat Dzhuhur. Kecuali bila dia tidak mendapatkan shalat jumat, entah karena batal atau karena tertinggal.
Tidak mendapatkan shalat Jumat karena batal adalah seseorang ikut jamaah shalat Jumat, tiba-tiba batal wudhu’nya. Dan tidak ada kesempatan lagi baginya untuk berwudhu lagi untuk kembali ikut shalat meski hanya menjadi masbuk. Maka untuk itu dia harus menunaikan shalat Dhuhur sebagai pengganti shalat Jumat yang batal.
Demikian juga bila alasannya tertinggal, seperti seseorang terlambat datang shalat Jumat danhannya ikut bersama imam setelah imam bangun dari ruku’ pada rakaat kedua. Maka untuk itu dia harus tetap shalat bersama imam, namun selesai imam menutup shalatnya dengan salam, dia harus berdiri lagi untuk menunaikan shalat Dzhuhur empat rakaat.
Adapun bila seseorang telah secara sah melakukan shalat Jumat, tanpa batal atau tertinggal, maka tidak ada lagi kewajiban baginnya untuk shalat Dzhuhur. Dalilnya adalah hadits berikut ini:
Dari Ibnu Abbas ra bawa Rasulullah SAW bersabda, “Apabila datang waktu siang hari Jum’at maka shalatlah dua rakaat.” (HR Ad-Daruqutuny).
Seandainya shalat dhuhur masih wajib, maka Rasulullah SAW tentu tidak memerintahkan hanya dua rakaat saja. Dan apa yang dilakukan beliau SAW dan para shabatnya juga menunjukkan tidak ada lagi shalat dhuhur setelah shalat Jum’at. Tidak ada satupun yang menyebutkan bahwa ada shahabat yang shalat Dzhuhur setelah shalat Jumat. Jadi tidak ada dalil yang melandasi shalat dhuhur setelah shalat jum’at, karena shalat Jum’at telah mengganti shalat Dhuhur.
Adapun tindakan yang dilakukan oleh beberapa orang untuk shalat Dzhuhur setelah shalat Jumat secara rutin dengan alasan karena takut tidak sah, sebenarnya merupakan tindakan yang patut dipertanyakan. Apa dasar mengatakan takut shalat Jumatnya tidak sah?
Sebagian beralasan karena tidak sah apabila ada beberapa shalat Jumat di tempat yang berdekatan. Misalnya ada dua masjid yang berdekatan menyelenggarakan shalat Jumat. Ada yang meyakini bahwa yang sah hanyalah yang lebih dahulu melakukan shalat Jumat, sedangkan masjid satunya yang tertinggal saat memulai shalat Jumat, diyakini tidak sah. Sehinngga jamaah yang berada di masjid kedua harus melakukan shalat Dzhuhur, karena shalat Jumat yang mereka lakukan tidak sah dalam anggapan mereka.
Sikap seperti ini agak berlebihan dan justru kurang konsekuen. Dikatakan agak berlebihan, karena sebenarnya adanya masjid dan jamaah shalat jumat yang berdekatan dengan jamaah shalat jumat yang lain tidak harus saling menafikan atau membuat tidak sah.
Memang ada sementara pendapat dari beberapa ulama di dalam kitab fiqih klasik yang menekankan pentingnya shalat jumat dilakukan secara berjamaah dalam satu masjid besar, tidak terpecah-pecah menjadi beberapa lokasi yang berbeda.
BahkanAl-Imam Asy-Syafi’i sekalipun tidak pernah diriwayatkan ketika datang ke baghdad yang di sana terdapat beberapa masjid, bahwa beliau melakukan shalat dzuhur setelah melakukan shalat jumat.
Lagi pula, pendapat seperti ini kurang tepat lagi bila dilaksanakan di zaman sekarang, mengingat kita tidak punya masjid yang besar dan mampu menampung orang dalam jumlah besar. Yang kita miliki sekarang ini masjid-masjid kecil namun dalam jumlah yang banyak. Kalau seandainya masjid-masjid itu kurang jamaahnya, memang sebaiknya tidak melaksanakan shalat jumat sendiri. Misalnya, jamaahnya kurang dari 40 orang sebagaimana salah satu pendapat dalam mazhab fiqih.
Akan tetapi fenomena yang terjadi justru sebaliknya, nyaris semua masjid di Jakarta penuh sesak oleh jamaah shalat jumat. Bahkan meskki jumlah masjid sangat banyak di Jakarta ini, namun masjid yang sebanyak itu tetap tidak mampu menampung jumlah peserta shalat jumat yang selalu membludak.
Maka tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa shalat jumat itu tidak sah lantaran diselenggarakan di beberapa masjid yang saling berdekatan. Sehinggga juga tidak ada alasan untuk melakukan shalat Dzhuhur setelahnya karena alasan tadi.

Fatwa Syaikh Abdullah bin Baz (Mufti Arab Saudi)
Setelah Beliau menjelaskan agak panjang di akhir penjelasannya Beliau mengatakan

والخلاصة: أن صلاة الظهر بعد الجمعة بدعة وضلالة وإيجاد شرع لم يأذن به الله، فالواجب تركه والحذر منه وتحذير الناس منه والاكتفاء بصلاة الجمعة، كما درج على ذلك رسول الله صلى الله عليه وسلم وأصحابه بعده والتابعون لهم بإحسان إلى يومنا هذا، وهو الحق الذي لا ريب فيه، وقد قال الإمام مالك بن أنس رحمة الله عليه: “لن يصلح آخر هذه الأمة إلا ما أصلح أولها”، وهكذا قال الأئمة بعده وقبله، والله الموفق.

Kesimpulan: Sesungguhnya sholat dhuhur setelah sholat Jum’at adalah sesuatu yang baru (bid’ah) yang menyesatkan dan mengada-adakan tuntunan (syari’at) yang tidak di izinkan oleh Allah. Maka wajib meninggalkannya dan memperingatkan masyarakat dari perbuatan itu, sudah cukuplah sholat jum’at saja (tanpa sholat dhuhur lagi), serbagaimana yang telah dipraktekkan oleh Nabi SAW, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka sampai zaman sekarang. Itulah yang haq (benar) yang tidak ada keraguan di dalamnya. Imam Malik bin Anas berkata: “Tidak akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan perkara yang membuat baik generasi pendahulunya.” Dan seperti itulah perkataan imam-imam setelah beliau ataupun setelah beliau. Allah-lah Yang Maha Memberi taufiq.
Pada masjid tertentu di luar ibukota kabupaten/kota dibiasakan mengerjakan sholat dhuhur selepas menunaikan sholat Jum'at. Hal tersebut dikerjakan karena tokoh agama setempat beranggapan bahwa sholat Jum'at yang telah dikerjakan diragukan keabsahannya, sebab:
  • Jumlah jamaah Jumat kurang dari 40 orang
  • Jumlah masjid yang menyelenggarakan sholat Jum'at di desa tersebut lebih dari satu masjid, sedang jarak dari masjid yang satu dengan masjid yang lain kurang dari 1666 m
  • Menganggap bahwa sholat Jumat itu tidak menggugurkan sholat dhuhur pada hari itu.
  • Khutbahnya menggunakan bahasa 'ajam (bukan bahasa Arab).

Pertanyaan

Apakah benar sholat dhuhur pasca diselenggarakannya sholat Jum'at tergolong sholat i'adah yang disyari'atkan, barkaitan dengan satu di antara alasan di atas ?

Pendapat bahwa shalat Duhur tidak boleh dilakukan setelah jum'at :

Jika melakukan sholat dhuhur setelah diselenggarakan sholat Jum'at itu karena ta'addud (jumlah sholat Jum'at yang diselenggarakan di satu kampung lebih dari satu), maka hukumnya ditafsil:
  • Apabila bilangan jama'ah sholat Jum'at kurang dari 40 orang yang memenuhi syarat, maka wajib sholat dhuhur.
  • Apabila memenuhi syarat-syarat ta'addud, maka hukumnya sunnat melakukan sholat dhuhur, untuk menghindarkan diri dari perbedaan pendapat.

Dasar Pengambilan

بغية المسترشدين ص 80 ( مسئلة ي ) مَتَى كَمُلَتْ شُرُوْطُ الْجُمُعَةِ بِأَنْ كَانَ كُلٌّ مِنَ الْأَرْبَعِيْنَ ذَكَرًا حُرًّا مُكَلَّفًا مُسْتَوْطِنًا بِمَحَلِّهَا لاَ يَنْقُصُ فِيْهَا شَيْئًا مِنْ أَرْكَانِ الصَّلاَةِ وَشُرُوْطِهَا وَلاَ يَعْتَقِدُهُ سُنَّةً وَلاَ يَلْزَمُهُ الْقَضَاءُ وَلاَ يَبْدِلُ حَرْفًا بِأَخَرَ وَلاَ يَسْقُطُهُ وَلاَ يَزِيْدُ فِيْهَا مَا يُغَيِّرُ الْمَعْنَي وَلَا يُلْحِنُ بِمَا يُغَيِّرُهُ وَإِنْ لَمْ يَقْصُرْ فِيْ التَّعَلُّمِ, كَمَا قَالَ ابْنُ حَجَرَ خِلاَفًا لم ر لَمْ تَجُزْ إِعَادَتُهَا ظُهْرًا بِخِلاَفِ مَا إِذَا وَقَعَ فِيْ صِحَّتِهَا خِلاَفٌ وَلَوْ فِيْ غَيْرِ الْمَذْهَبِ فَتُسَنُّ إِنْ صَحَّتِ الظُّهْرُ عِنْدَ ذَالِكَ الْمُخَالِفِ كَكُلِّ صَلاَةٍ وَقَعَ فِيْهَا خِلاَفٌ غَيْرُ شَادٍ.وَيَلْزَمُ الْعَالِمُ إِذَاَ اسْتُفْتِيَ فِيْ إِقَامَةِ الْجُمْعَةِ مَعَ نَقْصِ الْعَدَدِ أََنْ يَقُوْلَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ لاَ يَجُوْزُ ثُمَّ إِنْ لَمْ يَتَرَتَّبْ عَلَيْهِ مَفْسَدَةٌ وَلاَ تَسَاهُلٌ جَازَ لَهُ أَنْ يُرْشِدَ مَنْ أَرَادَ الْعَمَلَ بِالْقَوْلِ الْقَدِيْمِ إِلَيْهِ وَيَجُوْزُ لِلْإِمَامِ إِلْزَامُ تَارِكِ الْجُمْعَةِ كَفَّارَةً إِنْ رَأَهُ مَصْلَحَةً وَيُصَرِّفُهَا لِلْفُقَرَاءِ اه وَعِبَارَةُ ك وَإِذَا فَقَدَتْ شُرُوْطُ الْجُمْعَةِ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ لَمْ يَجِبْ فِعْلُهَا بَلْ يَحْرُمُ حِنَئِذٍ لِأَنَّهُ تَلْبَسُ بِعِبَادَةٍ فَاسِدَةٍ فَلَوْ كَانَ فِيْهِمْ أُمِّيٌّ تَمَّ الْعَدَدُ بِهِ لَمْ تَصِحَّ وَإِنْ لَمْ يَقْصُرْ فِيْ التَّعَلُّمِ كَماَ فِيْ التُّحْفَةِ خِلاَفاً لِشَرْحِ الْإِرْشَادِ وم ر بِخِلاَفِ مَا لَوْ كَانُوْا كُلُّهُمْ أُمِّيِّيْنَ وَالْإِمَامُ قَارِئٌ فَتَصِحَُّ وَإِذَا قَلَّدَ الشَّافِعِيَّ مَنْ يَقُوْلُ بِصِحَّتِهَا مِنَ الْأَئِمَّةِ مَعَ فَقْدِ بَعْدِ شُرُوْطِهَا تَقْلِيْدًا صَحِيْحًا مُسْتَجْمِعًا لِشُرُوْطِهِ جَازَ فِعْلُهَا بَلْ وَجَبَ حِنَئِذٍ ثُمَّ يُسْتَحَبُّ إِعَادَتُهَا ظُهْرًا وَلَوْ مُنْفَرِدًا خُرُوْجًا مِنْ خِلاَفِ مَنْ مَنَعَهَا إِذِالْحَقُّ أَنَّ الْمُصِيْبَ فِيْ الْفُرُوْعِ وَاحِدٌ وَالْحَقُّ لاَ يَتَعَدَّدُ فَيَحْتَمِلُ أَنَّ الَّذِيْ قَلَّدَهُ فِيْ الْجُمُعَةِ غَيْرُ مُصِيْبٍ وَهَذَا كَمَا لَوْ تَعَدَّدَتِ الْجُمُعَةُ لِلْحَاجَةِ فَإِنَّهُ لِكُلِّ مَنْ لَمْ يَعْلَمْ سَبْقَ جُمُعَتِهِ أَنْ يُعِيْدَهَا ظُهْرًا, وَكَذَا إِنْ تَعَدَّدَتْ لِغَيْرِ حَاجَةٍ وَشَكَّ فِيْ الْمَعِيَّةِ فَتَجِبُ إِعَادَتُهَا جُمُعَةً إِذِ الْأَصْلُ عَدَمُ وُقُوْعِ جُمُعَةٍ مُجْزِئَةٍ وَتُسَنُّ إِعَادَتُهَا ظُهْرًا أَيْضًا إِحْتِيَاطًا _ إِلَي أَنْ قَالَ – قَدْ صَرَحَ أَئِمَّتُنَا بِنَدْبِ إِعَادَةِ كُلِّ صَلاَةٍ وَقَعَ خِلاَفٌ فِيْ صِحَّتِهَا وَلَوْ مُنْفَرِدًا, وَمَنْ قَالَ إِنَّ الْجُمُعَةَ لاَ تُعَادُ ظُهْرًا مُطْلَقًا لِأَنَّ اللهَ تَعَالَى لَمْ يُوْجِبْ سِتَّةَ فُرُوْضٍ فِيْ الْيَوْمِ وَالليْلَةِ فَقَدْ أَخْطَأَ.أه

( Masalah Ya' ) "Tatkala syarat-syarat sholat jum'at sudah sempurna, dengan adanya empat puluh orang laki-laki merdeka, yag mukallaf, berdomisili ditempatnya, dan masing-masing tidak mengurangi sedikitpun dari rukun-rukun sholat dan syarat-syaratnya dan tidak meyakininya sebagai sholat sunah dan tidak mengharuskan meng qodho' sholat tersebut dan imam tidak mengganti sesuatu huruf dengan yang lain dan tidak menggugurkannya dan tidak menambah didalam sholat sesuatu yang merubah ma'na dan tidak melagukan huruf dengan sesuatu yang merubah ma'na meskipun orang mukallaf tersebut tidak teledor dalam belajar. Sebagaimana pendapat Ibnu Hajar berbeda dengan pendapat imam Romli. Maka tidak boleh mengulangi sholat jum'at tersebut dengan sholat dhuhur berbeda dengan apa yang apabila terjadi dalam keabsahan jum'at sesuatu perbedaan ( pendapat ) meskipun dalam madzhab lain, maka disunnahkan I'adah jika sholat dzuhur telah sah menurut orang yang bebeda pendapat tersebut seperti setiap sholat yang terjadi padanya perbedaan pendapat yang tidak menyimpang. Orang alim apabila dimintai fatwa mengenai pendirian sholat jum'at beserta kekurangan bilangan jama'ah sholat jum'at harus mengucapkan : "madzhab Syafi'i tidak membolehkan", kemudian apabila tidak terjadi padanya suatu kerusakan kerusakan dan bermalas-malasan pada (si alim), maka boleh baginya untuk memberi petunjuk kepada orang yang ingin mengerjakan dengan qaul qadim kepadanya dan bagi kepala pemerintahan boleh mengharuskan orang yang meninggalkan sholat jum'at membayar kifarat jika imam melihatnya sebagai kemaslahatan ( kebaikan ) dan mentasarufkan hasil kifarat tersebut kepada orang-orang fakir. Menurut ibarat syeh Sulaiman al-Kurdi:"apabila syarat-syarat sholat jum'at itu tidak didapati menurut madzhab Syafi'i maka tidak wajib mengerjakan sholat jum'at bahkan haram karena hal itu menjumbokan dengan ibadah yang rusak. Apabila dalam jama'ah sholat jum'at terdapat orang yang buta huruf al-Qur'an yang menjadi hitungan kesempurnaan jama'ah jum'at, maka sholat jum'at tersebut tidak sah meskipun orang yang buta huruf tersebut tidak teledor dalam belajar agama, sebagaimana keterangan dalam kitab Tuhfah yang berbeda dengan keterangan dalam syarah al-Irsyad dan imam ar-Romli, berbeda dengan apa yang apabila jama'ah keseluruhannya adalah orang-orang yang buta huruf al-Qur'an sedang imamnya dapat membaca al-Qur'an maka sholat jum'ahnya sah jika orang yang yang taklid kepada imam as-Syafi'i dari para imam berpendapat dengan kebsahannya sholat jum'at beserta ketiadan sebagian dari syarat-syarat orang jum'at dengan taklid yang benar yang mengumpulkan syarat-sarat taklid, maka boleh melakukan sholat jum'at bahkan wajib. Kemudian disunnahkan mengulangi sholat jum'at tersebut dengan sholat duhur meskipun sendirian karena keluar dari berbeda pendapat dengan orang yang melarang sholat jum'at tersebut. Karena yang benar bahwa apa yang sesuai dalam furu' itu adalah satu dan yang benar sholat jum'at itu tidak boleh berbilang. Maka dimungkinkan bahwa orang yang bertaklid kepada imam Syafi'i mengenai sholat jum'at itu adalah tidak sesuai. Ini adalah sebagaimana apabila sholat jum'at itu berbilang karena hajat, maka sesungguhnya bagi setiap orang yang tidak mengetahui sholat jum'atnya telah didahului sholat jum'at yang lain hendaklah mengulangi sholat jum'at tersebut dengan sholat duhur dan demikian pula apabila sholat jum'at tersebut berbilang tanpa hajat dan dia ragu-ragu mengenai sholat jum'at yang menyertainya maka wajib mengulangi sholat jum'at itu dengan sholat jum'at lagi karena hukum asal adalah meniadakan terjadinya sholat jum'at yang mencukupi syarat dan disunatkan mengulangi sholat jum'at dengan sholat duhur juga karena berhati-hati…sampai ucapan pengarang: Para imam kita telah menjelaskan dengan kesunnatan mengulangi setiap sholat yang dalam keabsahannya terjadi perbedaan pendapat meskipun sholatnya itu sholat sendirian dan orang yang berpendapat bahwa sesungguhnya sholat jum'at itu tidak boleh diulangi dengan sholat dhuhur secara mutlak karena sesungguhnya Allah ta'ala tidak mewajibkan enam kewajiban dalam sehari semalam maka orang tersebut benar-benar telah berbuat salah.

Apabila tidak memenuhi syarat-syarat ta'adud, maka di tafsil:
  • Jika takbirotul ihromnya bersamaan atau diragukan, apakah bersamaan atau ada yang mendahului, maka wajib mengulangi jum'atan lagi secara bersama-sama selama waktu sholat masih mencukupi. Jika tidak, maka jama'ah kedua masjid tersebut harus melakukan sholat dhuhur.
  • Jika takbirotul ihromnya berurutan, maka jum'atan yang takbirotul ihromnya paling dahulu, hukumnya sah, dan sunnah i'adah ( mengulangi ) sholat dzuhur. Sedang yang lain batal, dan wajib melakukan sholat dzuhur.
  • Jika takbirotul ihromnya ada yang mendahului tapi tidak jelas mana yang lebih dahulu, atau sudah jelas tetapi lupa, maka semuanya wajib melakukan sholat dzuhur.
Dasar Pengambilan:
I'anatut tholibin juz II hal. 72-74

فَلَوْ سَبَقَهَا بِهِ جُمُعَةٌ صَحَّتْ الْجُمُعَةُ السَّابِقَةُ لاِجْتِمَاعِ شَرَائِطِهَا وَالَّاحِقَةُ بَاطِلَةٌ, فَيَجِبُ أَنْ تُصَلَّى ظُهْرًا أَوْ قَارَنَهَا جُمُعَةٌ أُخْرَى يَقِيْنًا أَوْ شَكًّا بَطَلَتْ الْجُمُعَتَانِ لِأَنَّ إِبْطَالَ إِحْدَاهُمَا لَيْسَ بِاُوْلَى مِنَ الْأُخْرَى فَوَجَبَ إِبْطَالُهُمَا.وَلِأَنَّ الْأََصْلَ فِىْ صُوْرَةِ الشَّكِّ عَدَمُ جُمُعَةٍ مُجْزِئَةٍ، وَتَجِبُ حِيْنَئِذٍ إِسْتِئْنَافُهَا جُمُعَةً إِنْ وَسِعَ الْوَقْتُ وَ إِلاَّ وَجَبَ أَنْ يُصَلُّوْا ظُهْرًا, فَإِنْ سَبَقَتْ إِحْدَاهُمَا وَالْتَبَسَتْ بِالْأُخْرى, كَأَنَْ سَمِعَ مَرِيْضَانِ أَوْ مُسَافِرَانِ خَارِجَ الْمَسْجِدِ تَكْبِيْرَتَيْنِ مَثَلاً فَأََخْبَرَا بِذَالِكَ وَلَمْ يَعْرِفَا الْمُسْتَقْدِمَةَ مِمَّنْ وَقَعَتْ صَلَّوْا كُلُّهُمْ ظُهْرًا. ( وَالْحَاصِلُ ) لِهَذِهِ الْمَسْئَلَةِ خَمْسَةُ أَحْوَالٍ: اَلْحَالَةُ الْأُوْلَى : أَنْ يَقَعَا مَعَا, فَيَبْطُلاَنِ فَيَجِبُ أَنْ يَجْتَمِعُوْا وَ يُعِيْدُوْهَا عِنْدَ اتِّسَاعِ الْوَقْتِ اَلْحَالَةُ الثَّانِيَةُ : أَنْ يَقَعاَ مُرَتِّبًا فَالسَّابِقَةُ هِيَ الصَّحِيْحَةُ, وَالَّاحِقَةُ بَاطِلَةٌ فَيَجِبُ عَلَى أَهْلِهَا صَلاَةُ الظُّهْرِ اَلْحَالَةُ الثَّالِثَةُ : أَنْ يُشَكَّ فِىْ السَّبْقِ وَالْمَعِيَّةِ فَيَجِبُ عَلَيْهِمْ أَنْ يَجْتَمِعُوْا وَ يُعِيْدُوْهَا جُمُعَةً عِنْدَ اتِّسَاعِ الْوَقْتِ لِأَنَّ الْأَصْلَ عَدَمُ وُقُوْعِ جُمُعَةٍ مُجْزِئَةٍ فِىْ حَقِّ كُلٍّ مِنْهُمْ. اَلْحَالَةُ الرَّابِعَةُ : أَنْ يُعْلَمَ السَّبْقُ وَلَمْ تُعْلَمْ عَيْنُ السَّابِقَةِ فَيَجِبُ عَلَيْهِمْ الظُّهْرُ لِأَنَّهُ لاَ سَبِيْلَ إِلَى إِعَادَةِ الْجُمُعَةِ مَعَ تَيَقُّنِ وُقُوْعِ جُمُعَةٍ صَحِيْحَةٍ فِىْ نَفْسِ الْأَمْرِ لَكِنْ لَمَّا كَانَتِ الطَّائِفَةُ الَّتِيْ صَحَّتْ جُمُعَتُهَا غَيْرَ مَعْلُوْمَةٍ وَجَبَ عَلَيْهِمْ الظُّهْرُ. اَلْحَالَةُ الْخَامِسَةُ: أَنْ يُعْلَمَ السَّبْقُ وَ تُعْلَمَ عَيْنُ السَّابِقَةِ وَلَكِنْ نُسِيَتْ وَهِيَ كَالْحَالَةِ الرَّابِعَةِ. 

Seandainya telah mendahului suatu sholat jum'at, maka sholat jum'at yang terlebih dahulu sah, karena terkumpul syarat-syaratnya dan sholat jum'at yang mengikutinya adalah batal maka wajib dilakukan sholat dzuhur, atau sholat jum'at yang lain berbarengan dengan sholat jum'at yang pertama secara yakin atau ragu-ragu maka kedua sholat jum'at tadi batal karena sesungguhnya membatalkan salah satu dari keduanya bukanlah lebih utama dari membatalkan yang lain sehingga wajib membatalkan keduanya . Karena yang asal dalam bentuk keraguan adalah ketiadaan sholat jum'at yang mencukupi. Dan ketika itu wajib memulai lagi sholat jum'at jika waktunya luas, jika tidak maka mereka wajib sholat dzuhur. jika salah satunya mendahului dan jumbo dengan sholat jum'at yang lain seperti apabila dua orang yang sakit atau dua orang musafir yang berada diluar masjid mendengar dua takbirotul ihrom misalnya dan keduanya memberitahukan hal tersebut sedang keduanya tidak mengetahui sholat jum'at yang lebih dahulu maka mereka semuanya sholat dhuhur. Wal hasil untuk masalah ini terdapat lima keadaan: apabila sholat jum'at terjadi bersama-sama maka keduanya batal sehingga wajib mereka mengulangi sholat jum'at pada saat waktunya mencukupi. Apabila kedua sholat itu terjadi berurutan maka sholat yang mendahului adalah sholat yang sah dan yang mengikuti adalah batal sehingga wajib bagi jama'ah yang melakukan sholat kedua melakukan sholat dhuhur. Apabila diragukan mengenai yang mendahului dan yang mengikuti maka wajib atas mereka untuk berkumpul dan mengulanginya dengan sholat jum'at pada saat waktunya cukup karena hukum yang asal adalah tidak terjadinya sesuatu sholat jum'at yang mencukupi bagi hak setiap orang dari mereka. Apabila diketahui sholat yang mendahului dan tidak diketahui wujud yang mendahului maka wajib atas mereka melakukan sholat duhur karena sesungguhnya sama sekali tidak ada jalan untuk mengulangi sholat jum'at beserta keyakinan terjadinya sholat jum'at yang sah dalam urusan tersebut akan tetapi tatkala kelompok yang sah sholat jum'atnya tidak diketahui maka wajib atas mereka melakukan sholat dhuhur Apabila diketahui yang mendahului dan diketahui wujud yang mendahului akan tetapi lupa maka hal ini seperti keadaan yang keempat.
Jika melakukan sholat dzuhur, setelah diselenggarakannya sholat jum'at karena berkeyakinan bahwa sholat jum'at tidak menggugurkan sholat dzuhur, maka hukumnya tidak dibenarkan, bahkan menjadi kufur apabila meyakini bahwa pada hari jum'at sholat fardlunya menjadi enam kali dengan asal syara', apabila tidak maka dita'zir.
Dasar Pengambilan 
I'anatut Tholibin Juz II hal. 63
( لَطِيْفَةٌ ) سُئِلَ الشَّيْخُ الرَّمْلِى رَحِمَهُ اللهُ عَنْ رَجُلٍ قَالَ : أَنْتُمْ يَا شَافِعِيَّةُ خَالَفْتُمُ اللهَ وَرَسُوْلَهُ لِأََنَّ اللهَ تَعَالَى فَرَضَ خَمْسَ صَلَوَاتٍ وَأَنْتُمْ تُصَلُّوْنَ اللهَ سِتًّا بِإِعَادَتِكُمُ الْجُمُعَةَ ظُهْرًا فَمَاذَا يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ فِىْ ذَالِكَ، فَأَجَابَ بِأَنَّ هَذَا الرَّجُلَ كَاذِبٌ فَاجِرٌ جَاهِلٌ فَإِنِ اعْتَقَدَ فِى الشَّافِعِيَّةِ أَنَّهُمْ يُوْجِبُوْنَ سِتَّ صَلَوَاتٍ بِأَصْلِ الشَّرْعِ كُفْرٌ وَأَجْرَى عَلَيْهِ أَحْكَامُ الْمُرْتَدِّيْنَ وَإِلاَّ اسْتَحَقَّ التَّعْزِيْرَ الْلاَّئِقَ بِحَالِهِ الرَّادِعِ لَهُ وَلِأَمْثَالِهِ عَنِ ارْتِكَابِ مِثْلِ قَبِيْحِ أَفْعَالِهِ. وَنَحْنُ لاَ نَقُوْلُ بِوُجُوْبِ سِتِّ صَلَوَاتٍ بِأَصْلِ الشَّرْعِ وَإِنَّمَا تَجِبُ إِعَادَةُ الظُّهْرِ إِذَا لَمْ يُعْلَمْ تَقَدُّمُ جُمُعَةٍ صَحِيْحَةٍ
 .
Syekh Ramli-Semoga Allah merahmatinya-ditanya tentang seorang laki-laki yang berkata :" Kalian wahai pengikut Syafi'i, kalian telah menyalahi Allah dan rasulnya karena sesungguhnya Allah Ta'ala telah memfardlukan lima kali sholat sedangkan kalian sholat enam kali dengan kalian mengulangi sholat jum'at dengan sholat dzuhur, maka apakah yang menetapkan pada laki-laki tersebut dalam hal i'adah?"maka syekh Ramli menjawab bahwasannya laki-laki ini adalah orang yang dusta, durhaka lagi bodoh. Jika dia beri'tikad dalam madzhab Syafi'i bahwa mereka mewajibkan enam kali sholat menurut asal syari'at, maka dia kafir dan harus berlaku atasnya hukum-hukum orang yang murtad dan jika dia tidak meyakini kewajiban tersebut dia harus dita'zir yang sesuai dengan keadaannya yang dapat mencegah baginya dan bagi orang-orang yang seperti dia dari melakukuan seperti kejelekan perbuatan-perbuatannya. Kami tidak berpendapat dengan kewajiban enam sholat menurut asal syari'at; dan sesungguhnya kewajiban mengulangi sholat dhuhur hanyalah jika tidak diketahui sholat jum'at yang sah yang mendahuluinya.

Mengulangi sholat dzuhur karena beralasan khutbah yang memakai bahasa selain arab sementara rukun-rukunnya berbahasa arab, maka hukumnya tidak dibenarkan.
Dasar Pengambilan
Raudhotus Tholibin oleh Imam Nawawi Juz I Hal. 418.

وَهَلْ يُشْتَرَطُ كَوْنُ الْخُطْبَةِ كُلُّهَا بِالْعَرَبِيَّةِ ؟ وَجْهَانِ : اَلصَّحِيْحُ اشْتِرَاطُهُ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِمْ مَنْ يُحْسِنُ بِالْعَرَبِيَّةِ، خَطَبَ بِغَيْرِهَا. وَيَجِبُ أَنْ يَتَعَلَّمَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ الخُطْبَةَ الْعَرَبِيَّةَ، كَالْعَاجِزِ عَنِ التَّكْبِيْرِ بِالْعَرَبِيَّةِ. فَإِنْ مَضَتْ مُدَّةُ إِمْكَانِ التَّعْلِيْمِ وَلَمْ يَتَعَلَّمُوْا،عَصَوْا كُلُّهُمْ، وَلاَ جُمْعَةَ لَهُمْ.

"Dan apakah disyaratkan keadaan khutbah semuanya berbahasa Arab ? dalam hal ini ada dua pendapat: pendapat yang benar mensyaratkan keadaan khutbah tersebut berbahasa Arab. Dan jika dalam jama'ah jum'at tersebut tidak ada orang yang dapat berbahasa Arab yang bagus, maka khotib berkhutbah dengan selain bahasa Arab dan masing-masing orang dari jama'ah jum'ah wajib mempelajari khutbah berbahasa Arab seperti orang yang tidak mampu membaca takbir berbahasa arab. Jika telah lalu masa kemungkinan belajar sedang mereka tidak mau belajar maka semua jama'ah jumat berdosa dan sholat jum'at tidak sah".

Kifayatul Akhyar Juz I hal:122

السَّادِسُ:.........وَهَلْ يُشْتَرَطُ كَوْنُهَا عَرَبِيَّةً؟ الصَّحِيْحُ نَعَمْ نَنْقُلُ الْخَلَفَ مِنَ السَّلَفِ ذَالِكَ. وَقِيْلَ لاَ يَجِبُ لِحُصُوْلِ الْمَعْنَى. فَعَلَى الصَّحِيْحِ لَوْ لَمْ يَكُنْ فِِِيْهِمْ يُحْسِنُ الْعَرَبِيَّةَ جَازَ بِغَيْرِهَا. وَ يَجِبُ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ أََنْ يَتَعَلَّمَهَا بِالْعَرَبِيَّةِكَالْعَاجِزِعَنِ التَّكْبِيْر ِبِالْعَرَبِيَّةِ. فَإِنْ مَضَتْ مُدَّةُ إِمْكَانِ التَّعْلِيْمِ وَلَمْ يَتَعَلَّمْ أََحَدٌ مِنْهُمْ عَصَوْا كُلُّهُمْ وَلاَجُمْعَةَ لَهُمْ بَلْ يُصَلُّوْنَ الظُّهْرَ، كَذَا قَالَهُ الرَّافِعِيُّ

Yang keenam:.....dan apakah disyaratkan keadaan khutbah dengan bahasa Arab? Yang benar adalah ya. Kami menukil pendapat ulama' kholaf dari ulama' salaf dalam hal tersebut. Dan dikatakan tidak wajib berbahasa Arab, karena keberhasilan pengertian. Menurut pendapat yang benar adalah andaikata dalam jama'ah tidak ada orang dapat berbahasa Arab dengan baik, maka boleh menggunakan bahasa lain. Dan wajib atas setiap orang belajar khutbah dengan bahasa Arab seperti orang yang tidak mampu takbirotul ihrom dengan bahasa Arab. Jika masa yang memungkinkan belajar telah lewat dan salah seorang diantara mereka tidak belajar maka semuanya berdosa dan tidak sah bagi mereeka melakukan sholat jum'at tetapi wajiib bagi mereka melakukan sholat dzuhur. Demikianlah yang telah dikatakan Imam Rofi'i".

Hamisy al-Muhibah dzil fadl Juz III hal: 231

( قَوْلُهُ وَكَوْنُهَمَا أَيْ الْخُطْبَتَيْنِ بِالْعَرَبِيَّةِ ) أَيْ الْأَرْكَانُ كَمَا فِى النِّهَايَةِ وَغَيْرِهَا زَادَ فِى التُّحْفَةِ دُوْنَ مَا عَدَاهَا، قَالَ ابْنُ قَاسِمِ يُفِيْدُ أَنَّ كُوْنَ مَاعَدَا الْأَرْكَانِ مِنْ تَوَابِعِهَا بِغَيْرِ الْعَرَبِيَّةِ لاَ يَكُوْنُ مَانِعًا مِنَ الْمُوَالاَةِ. 

( Perkataan mushonnif Keadaan dua khutbah menggunakan bahasa Arab ) artinya rukun-rukun khutbah sebagaimana tersebut dalam kitab An-Nihayah dan lainnya. Dalam kitab at Tuhfah mushonnif menambahkan: "bukan selain khutbah" Ibnu Qosim berkata bahwa keadaan selain rukun-rukun memberi faedah terhadap hal-hal yang mengikuti khutbah tanpa berbahasa Arab tidaklah mencegah muwalat.

Shalat dhuhur setelah shalat jum’ah diperinci hukumnya sebagai berikut :
  • Haram, jika shalat jum’ah hanya dikerjakan sekali dalam satu wilayah.
  • Sunnah, jika shalat jum’ah dikerjakan lebih dari satu kali (tidak memungkinkan dilakukan sekali dengan alasan-alasan yang diterima oleh syari’at).
  • Wajib, jika mengerjakan shalat jumah lebih dari sekali padahal dapat dikerjakan dengan sekali dan tidak diketahui yang memulai shalat jum’ah terlebih dahulu.
Shalat jum’ah boleh ditinggalkan karena bepergian jika keluar dari batas daerahnya sebelum fajar hari jum’ah. Adapun jika berangkat setelah fajar, maka haram untuk bepergian jika menyebabkan meninggalkan shalat jum’ah, maka wajib melaksanakan shalat jum’ah di perjalanannya kecuali dapat membahayakannya karena tertinggal dari rombongan.
Bagi yang wajib melaksanakan shalat jum’ah, tidak boleh melaksanakan shalat dhuhur kecuali setelah habisnya kesempatan untuk melaksanakan shalat jum’ah.
Syarat sah khutbah jum’ah didengar oleh 40 orang laki-laki yang baligh dan berakal dan mustauthin (berdomisili di tempat didirikannya jum’ah) walaupun mereka tidak hadir di masjid atau dalam keadaan berhadats dan terbuka auratnya. Jika khutbah tidak didengar oleh 40 orang (kurang dari 40 orang), maka syarat jum’ah tidak terpenuhi, oleh karena itu wajib mengulangi khutbah kembali.

Pendapat bahwa shalat Duhur wajib dilakukan setelah shalat Jum'at :

ref. yg pertama.
Sesuai dengan Al- 'arifbillah assayyid abdul qodir jailani Rodliyallohu 'anhu dalam kitabnya "ALGHONIYYAH LITHOLABI THORIQIL HAQ" juz 1 memuat 192 halaman, dan juz 2 memuat 200 halaman, pada juz 2 halaman 126 :
"fakullu man lazimathush sholawaatul khomsu yalzamuhu fardlul jumati idza kaana mustauthinan muqiman bibaladin au qoryatin"

artinya "Maka segala orang yang wajib padanya sholat lima waktu wajib padanya ( juga ) sholat fardlu jum'at tatkala adalah dia menetap mukim pada suatu negeri atau desa."
Beliau berpendapat orang yg berkewajiban sholat lima waktu juga berkewajiban sholat fardlu jum'at jikalau tidak musafir

Ref yg kedua.
Dalam kitab ZAADUL MA"AD juz 1 hal 119 karangan imam ibnul qoyyim disebutkan : " Anal jumu'ata 'indashshohaabaathi sholatun mustaqillatun linafsihaa ghorodh dhuhri"
artinya "sesungguhnya sholat jum'at itu bagi para sahabat nabi adalah fardlu yg berdiri sendiri bagi dirinya, bukan sholat dhuhur"

Disitu dijelaskan para sahabat nabi orang yg langsung menerima ajaran-ajaran islam dari rosulullah.
dan para sahabat nabi ijma sepakat mengatakan bahwa sholat fardlu jumat berdiri sendiri,bukan sholat dhuhur atau pengantinya dhuhur.

Ref. ketiga.
dalam kitab ALFAUZU WAN NAJAT FIL HIJROTI ILALLAH,"YG DIKARANG OLEH MUHAMMAD SAYYID TIJANI,di hal 8 menyebutkan demikian :
" Sholatul jumu'ati fardlu 'ainin mustaqiilin walaisat dhuhron maqshurotan "
artinya : sholat jum'at ini adalah sholat fardlu 'ain yg berdiri sendiri dan bukan sholat dhuhur yang diringkas.

Keterangan diatas merupakan jawaban bahwa sholat jum'at adalah sholat fardlu dhuhur empat rokaat, dua rokaat sholat jum'at perwujudan dari dua rokaat sholat dhuhur dan khutbah dua gantinya dua rokat ari sholat dhuhur.

Ini adalah sebagian ref, bagi mereka yg mengerjakan sholat jum'at kemudian sholat dhuhur, siapa yg meragukan keimanan dan kesholehan kedua beliau 'Arifbillah Assayyid Abdul Qodir jailani dan Muhammad Sayyid Tijani. Maka dalam beribadah bila ada pertentangan kita harus berhati-hati dalam menentukan pilihan, jangan bilang katanya kalau tidak tahu, mari cek tkp, yang pada akhir dikembalikan kediri sendiri. Apakah ada dalil yg menjelaskan sholat jum'at sebagai penganti sholat sholat dhuhur, coba baca buku mereka2 yg keimanan dan kehidupan setelah sahabat nabi, karena kasus dalam tread ini memang menjadi perdebatan dari dulu kala.

ref ke - empat.
'An Umar rodliyallahi 'anhu qola :
sholaatul jumu'ati rok'ataani washolaatul fitri rok'ataani washolaatul adh-ha rok'ataani tamaamun 'ala ghoiri qoshrin 'alaa lisani muhammad shollallahu 'alaihi wasallam
Artinya : keterangan dari sahabat umar R A, umar berkata: "sholat jum'at dua rokaat, sholat idul Fitri dua rokaat dan sholat idul adha dua rokaat sempurna bukan sholat ringkasan, ini atas sabdanya Muhammad saw

ref ke - lima.
Menurut beliau ulama besar madzab syafi'i dan mursyid thoriqoh Nasbandi menyusun kitab yang mashur diseluruh dunia namanya kitab :
KITAB TANWIRUL QULUB FI MU'AMALH ALLAMIL GHUYUB. Pada halaman 184 sampai halaman 195 beliau mengupas adanya sholat dhuhur ba'dhal jum'at di hari jum'at dengan luas sekali. Pada hal 186.
"Sesungguhnya sholat dhuhur ba'dal jum;at yang berbilang dalam satu negeri bukanlah khusus dikerjakan oleh Ulama-ulama madzab Syafi'i saja tetapi diketahuinya juga oleh empat madzab ( hanafi, maliki, syafi'i, hambali melakukannya ).

pada hal 192.
"Maka nyata adanya sholat dhuhur setelah sholat jum'at itu adalah wajib hukum bukan sunnat.tak ada alasan bagimu wahai pembaca yg mulia akan ragu-ragu dalam hal ini. Sesungguhnya apa yg dilakukan orang2 yg bermazab syafii setelah sholat jum'at sholat dhuhur dengan jama'ah di masjid-masjid.

Itulah beberapa alasan ulama tentang didirikannya shalat duhur setelah shalat Jum'at. Sebuah kaidah fikih mengatakan, "keraguan tidak bisa menghapus keyakinan". Maka ketahuilah bahwa ilmu Allah itu maha luas. Perbedaan pendapat dalam islam akan tetap ada sebab Allah swt telah berikan kapasitas akal dan ra'yi, insting dan nalar kepada manusia. Khazanah keilmuan dalam islam semakin nyata terlihat bahwa islam tidak sempit. Ruang ijtihad akan tetap terhamapar luas selama siklus kehidupan belum terhenti dan hukum akan selalu mengikat pada setiap polah kehidupan manusia. Sikap menghargai dari setiap perbedaan penafsiran disertai dengan hujjah, pendapat ulama, dalil yang jelas dan reason yang kuat barangkali jauh lebih santun ketimbang sikap menghukumi lebih-lebih mengkafiri sesama muslim. Akhirnya, fikih adalah sebuah menu pilhan yang tersaji di sebuah meja yang penuh kuliner ala chef mujtahid. Yang suka tinggal pilih yang tidak silahkan masak sendiri.

Wallahu a'lam


1 komentar:

  1. saya ada endapat lain, silahkan berkunjung
    https://dhuhur-setelah-jumat.blogspot.co.id

    BalasHapus