Minggu, 18 Desember 2011

PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM MASA DAULAT ABASYIAH

PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM MASA DAULAT ABASYIAH
Tugas disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Penilaian
Mata Kuliah :
SEJARAH PERADABAN ISLAM 


A.        Pembentukan Madzhab dan pembukuan hadits
Setelah kekuasaan Umayyah berakhir, kendali pemerintahan islam sealanjutnya depegang oleh dynasti Abasyiah. Berbeda dengan fase sebelumnya yang duitandai dengan perluasan wilayah, fase ini ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang pengaruhnya masih dapat dibuktikan sampai saat ini.
Fase ini , dalam sejarah hukum islam dikenal dengan fase atau zaman keemasan, fase kesempurnaan atau fase fikih menjadi menjadi ilmu yang mandiri.
B.        Faktor-faktor yang Mendorong Perkembangan Hukum Islam
Factor utama yang mendorong perkembangan hukum islam adalah ilmu pengetahuan di dunia islam. Berkembang pesatnya ilmu pengetahuan di dunia islam disebabkan oleh hal-hal berikut.
Pertama, banyaknya mawali yang masuk islam. Pada zaman Umayah islam islam telah berhasil menguasai pusat-pusat peradaban Yunani yaitu Antioch dan Bactra. Di bawah pemerintahan Harun al Rasyid, dimulailah penerjemahan bukuk-buku Yunani ke dalam bahasa Arab. Banyak ilmuwan yang dikirim ke kerarjaan Eropa untuk mendapatkan manuskrip.
Dalam upaya mentransformasikan ilmu Yunani ke dunia islam diperlukan banyak ilmuwan yang menerjemahkan buku-buku filsafat ke dalam bahasa Arab. Para penerjemah yang terkenal pada zaman itu adalah
Hunain ibn Ishaq(873 M), penganut agama Kristen. Ilmuwan yang pandai bahasa Arab dan Yunani ini menerjemahkan dua puluh buku galen ke dalam bahasa sYiria dan empat belas buku ke dalam bahasa Arab.
1.            Ishaq ibn Hunanin ibn Ishaq ( putra Hunain ibn Ishaq) yang wafat 910 M.
2.            Tsabit ibn Qurra (825-901 M), seorang penyembah bintang
3.            Qusta ibn Luqa, seorang penganut agam Kristen
4.            Abu bishr Matta ibn Yunus (939 M).
Melalui gerakan penerjemahan ini, karaya-karya filsuf zaman Yunani dalm bidang filsafat, kedokteran dan ilmu pengetahuan dapat dibaca umatb islam. Sebgaian orang yang daerahnya dikuasai umat islam menjadi penganut dan belajar agama islam melalui bimbingan para imam. Di antara ulama yang menjadi guru adalah penghapal hadits, penghapal al Quran, penafsir al Quran, dan penjelas hadits. Mereka mulai memasuki “persaingan” dalam pengenbangan ilmu.
Kedua, berkembangnya pemikiran karena luasnya ilmu pengetahuan. Di bidang Ilmu Kalam terjadi perdebatan; setiap kelompok memiliki carra berfikir tersendiri dalam memahami aqidah islam. Selain itu, terjadi pula “pertarungan pemikiran” antara mutakalimin, muhadtsin, dan fuqaha.
Ketiga, adanya upaya umat islam untuk melestarian al Quran dengan dua cara, yaitu dicatat (dikumpulkan dalam satu mushaf) dan dihafal. Pelestarian al Quran melalui hapalan dilakukan dengan mengmbangkan cara membacakannya sehingga saat itu corak-sorak bacaaan yang dapat dibedakan menjadi dua: bacaan shahih dan bacaan syadzah.
Qira’at yang dikenal sahih adalah al-Qurra al-’Asyr (sepuluh pembaca) :
1.            Nafi ibn Abi Na’im (w. 167 H) qari di Madinah
2.            Abdullah ibn Katsir (w. 167 H) qari Makkah.
3.            Abu Bakar ‘Ashim ign Abu al-Nujud (w. 127 H) qari Kuffah.
4.            Abu ‘Amr ibn al A’la al-Madzani (w. 154 H) qari Bashrah.
5.            Abdullah ibn ‘Amir (w. 118 H) qari Damaskus.
6.            Hamzah ibn Habib al-Ziyat (w. 145 H)
7.            Abul al-Hasan ‘Ali ibn Hamzah al-Kasa’I (w. 186 H).
8.            Ya’qub ibn Ishaq al-Hadlarami (w. 205H)
9.            Kahalf ubn Hisyam al-Bazzar (w. 129H)
10.        Abu Ja’far Yazid ibn al-Qa’qa’ (w. 130 H).
Dari qari pertama hingga ke tujuh dikenal sebagai A’immat al Qiraat al-Sab’ dan qari pertama hingga sepuluh dikenal dengan al-Qurra al-Asyar.
Adanya perbedaan qira’at (bacaan) tentu akan mengakibatkan munculnya perbedaan dalam istinbath al-ahkam. Umpanya, perbedaan terhadap surat al-Maidah ayat 6. dalam ayat tersebut, Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai dengan kedua mata kaki…”
Apabila kata arjulakum dibaca dengan baris fathah pada huruf la, maka artinya kaki wajib dibasuh (ghusl) karena diathafkan kata wujuhakum wa adyakum. Sedangkan jika kata itu dibaca dengan menggunakan kasrah pada huruf lam (arjulikum), maka artinya kaki wajib diusap (mash) karena diathafkan pada kata ru’usikum.
C.                 Dasar Pemikiran dan Perkembangan Madzhab Hukum Islam
Madzhab fiqih islam yang muncul setelah sahabat dan kibar al-tabi’in berjumlah 13 aliran. Ketiga belas aliran iini berafiliasi dengan aliran ahlusunnah. Namun tidak semua aliran itu dapat diketahui dasadasar dan metode istinbath hukumnya.
Aliran hukum islam yang terkenal dan masih ada pengikutnya hingga kini hanya beberapa, diantaranya hanafiah, Malikiah, Syafi’iah, dan hanbaliah.
1.                  Aliran Hanafi
Abu Hanifah   belajar fiqih kepada ulama aliran Irak (ra’yu). Ia dianggap representative untuk mewakili pemikiran a\liran ra’yu. Aliran Irak, Kufah, atau madzhab ra’y pada generasi sahabat dipelopori oleh Ali ibn Abi Thalib dan Abdullah ibn Mas’ud.
a.        Cara Ijtihad Abu Hanifah
1.         Cara ijtihad yang pokok
“ Aku (Abu Hanifah) merujuk pada al Quran apabila aku mendapatkannya; apabila tidak terdapat dalam al Quran, aku merujuk kepada sunah rsulullah saw dan atsar yang sahih yang diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqah. Apabila tidak mendapatkan pada al Quran dan sunnah rsul maka aku merujuk pada qaul sahabat, (apabila sahabat ikhtilaf) aku mengabil pendapat mana saja yang aku kehendaki, aku tidak akan pindah dari pendapat yangh satu kependapat yang lain, apabila didapatkan pendapat Ibrahim, al-Sya’bi, dan Ibn al-Musayyah serta yang lainnya, aku berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.”
2.         Cara Ijtihad Tambahan
·        Dilalah lafadz umum ('am) adalah Qath’i, seperti lafadz khash
·        Pendapat sahabat yang “tidak sejalan” dengan pendapat umum adalah bersifat khusus.
·        Banyaknya yang meriwayatkan bukan berarti sudah kuat.
·        Adanya penolakkan terhadap mafhum (makna tersirat) syarat dan sifat. Apabila perbuatan rawi menyalahi riwayatnya, yang dijadikan dalil adalah perbuatannya bukan riwayatnya.
·        Mendahulukan qias jali daripada khabar ahad yang dipertentangkan.
·        Menggunakan istihsan dan meninggalkan qias apabila diperlukan.
b.        Fikih Abu Hanifah
Benda wakaf masih tetap milik wakif. Kedudukab wakaf dipandang sama dengan ‘ariyah (pinjam meminjam). Karena masih tetap milik wakih, benda wakaf dapat dijual, diwariskan dan dihibahkan oleh wakif kepada yang l;ain, kecuali wakaf untuk masjid,wakaf yang ditetapkan oleh keputusan hakim, wakaf wasiat, dan wakaf yang diikrarkan secxara tegas bahwa wakaf it uterus dilanjutkan meskipun wakif telah meninggal dunia.
Perempuan boleh menjadi hakim di pengadilan yang tugasnya khusus menangani masalah perdata, bukan perkara pidana.alasannya bahwa perempuan tidak boleh menjadi saksi pidana.; ia hanya dibenarkan menjadi saksi perkara perdata. Karena itu menurutnya perempuan hanya boleh jadi hakim yang berurusan dengan masalah perdata. Dengan demikian metode ijtihad yang dipergunakan adalah qias dengan menjadikan kesaksian sebgai al-ashl dan menjadikan hakim perempuan sebagai far’.
Abu Hanifah dan ulam Kuffah berpendapat bahwa shalat gerhana dilakukan dua rakaat sebagaimana shalat ‘ied; tidak dilakukan dua kali ruku dalam satu rakaat.
2.         Aliran Malikiah
Jika Abu Hanifah sebagai pelanjut ahl ra’yu, maka imam Malik dipandang sebagai pelanjut ahl al-hadits.
a.        Cara ijtihad Imam Malik
1.      Mengambil dari al Quran
2.      Menggunakan zahir al-Quran, yaitu lafadz yang umum.
3.      Menggunakan ‘dalil’ al-Quran, yaitu mafhuim al-muwafaqah.
4.      Menggunakan “mafhum” al Quran, yaitu mafhum mukhalafah.
5.      Menggunakan “tanbih” al-Quran, yaitu memperhatikan illat.
Dalam aliran Maliki, lima langkah di atas disebut sebagai Ushul Khamsah. Langkah-langkah berikutnya adalah ijma’, qiyas, amal penduduk Madinah, istihsan, sadd al-dzara’I, mashalih al-mursalah, qaul al-shahabi, mura’at al-khilaf, al-istishlah, syar man qablana.
Salah satu dalil yang sering digunakan Imam Malik adalah ijma’ ulama Madinah, dan lebih mengutamakannya dari pada qiyas, khabar, ahad, dan qaul sahabat. Di samping memiliki cara ijtihad tersendiri, ia juga memiliki pendapat yang mandiri. Berikut ini di antara pendapat beliau.
Ulama sepakat tentang ketidak bolehan menikah bagi wanita yang sedang dalam waktu tunggu hamil, ditinggal wafat maupun waktu tunggu cerai (al-Baqarah: 228 dan 234). Namun ulama berbeda pendapat dalam menentukan sangsi bagi perempuan yang melanggarnya, yakni menikah dalam waktu tunggu dan sudah melakukan hubungan suani isteri (dukhul). Menurut Abu Hanifah, syafi'I dan at-Tsauri, harus dipisahkan; apabila waktu tunggunya selesai, ia dibolehkan menikah lagi dengan laki-laki yang menikahinya tadi. Sedangkan menurut Imam Malik, ia wajib dipisahkan dan bainya diharamkan (selamanya) menikah lagi dengan laki-laki yang menikahinya dalam waktu tunggu. Alas an yang beliau ajukan adalah pendapat Umar ibn Khattab yang diriwayatkan dari az-Zuhri., Said ibn al-Musayyab, dan Sulaiman ibn yassar yang mengatakan bahwa Umar mengharamkan thulaihah al-Asshaddiyah. Menikah lagi (untuk selamanya) dengan laki-laki yang menikahuinya dalam waktu tunggu.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa shalat gerhana matahari dan gerhana bulan dilakukan dua rakaat.; dan dilakukan seperti idul fitri, idul adha, dan shalat jum'at. Sedangkan menurut Imam Malik (dan jumhur), shalat gerhana matahari dan bulan dilakukan dua rakaat dan terdapat dua ruku dalam setiap rakaat. Abu Hanifah, beralasan dengan salah satu hadits riyawat abi Bakhroh yang menyatakan bnahwa rasulullah salat gerhana matahari dilakukan dua rakaat seperti salat ied. Sedangkan Imam Malik beerpegang pada sebuah hadits riwayat 'Aisyah yang menyatakan bahwa rasulullah salat gerhana matahari dua rakaat, dan dua kali ruku pada setiap rakaaat.
Imam Malik berpendapat bahwa jumlah mahar minimal adalah tiga dirham atau seperempat dinar. Alasannya sebagai berikut: nishab harta curian ( sehingga pencurinya dapat dikenai sangsi potong tangan) adalh tiga dirham atau seperempat dinar. Oleh karena itu adalah tiga dirham atau seperempat dinar. Dalam kasus di atas Imam Malik menggunakan metode qias sebagai metodenya.
3.         Aliran Syafi'iyah
a.        Cara ijtihad imam al-syafi'i
Seperti imam madzhab lainnya, imam Syafi'i menentukan thuruq al-isthinbat al-ahkam tersendiri. Adapun langkah-langkah ijtihadnya dalah sebagai berikut. "asal adalah al qur`an dan ash-sunnah. Apabila tidak ada dalam al quran dan sunnah, ia melakukan qiyas terhadap keduanya. Apabila hadits telah muthashil dan sanadnya shahih, berarti ia termasuk berkualitas {muntaha} makan hadits yang diutamakan adalah makna dhahir; ia menolak hadits munqath'i kecuali yang diriwayatkan  oleh ibnu al-munsyayat; pokok {al-ashru} tidak boleh di analogikan kepada pokok; bagi pokok tidak perlu dipertanyakan mengapa dan bagaimana liman wa kaifa mengapa dan bagaimana hanya dipertanyakan pada cabang furu'.
Menurut imam syafi'I rujukan pokok adalah alquran dan sunnah. Apabila suatu persoalan tidak diatur pada keduanya hukumnya di tentukan dengan cara qiyas, sunnah digunakan apabila sanadnya shahih, ijma lebih diutamakan atas khabar mufrad. Makna yang diambil dari hadits adalah makna dhahir apabila suatu lafadz ihtimal {mengandung makna lain} maka makna dhahir lebih diutamakan.
Dengan demikian, dalil hukum bagi imam syafi'i adalah alquran,sunnah, dan ijma sedangkan teknik ijtihad yang digunakan adalah qiyas dan takhbir apabila menghadapi ikhtilaf pendahulunya.
b.        Qaul Qadim dan Qaul Jadid
Qaul qadim adalah pendapat Imam Syafi'I yang bercorak ra'yu sedangklan qaul Jadid adalah pendapatnya yang bercorak hadits. Sebab terbentuknya qaul qadim dan qaul jadeid adalah krena Imam sYafi'i mendengar dan menemukan hadits dan fiqih yang diriwayatkan oleh ulam Mesir yang tergolong ahl al-hadits.
Pendapat as-Syafi'I yang didiktekan dan ditulis di Irak disebut Qaul qadim. Sedangkan pendapat Imam Syafi"I yang didiktekan kepada muridnya dan ditulis di Mesir disebuit qaul jaded. Adapaun sebab timbulnya qaul jaded adalah karena Imam Syafi'i mendapatkan hadits yang tidak ia dapatkan di Irak dan Hijaz; dan ia menyaksikan adapt dan kegiatanm muamalat yang berbeda dengan di Irak. Pendapat Imam Syafi'I yang termasuk qaul jadied dikumpulkan dalam satu kitab al-Umm.
Qaul jadid merupakan koreksi terhadap pendapat-pendapatnya yang ia kemukakan sebelumnya. Para ulama berkesimpulan bahwa munculnya qaul jadid merupakan dampak perkembangan baru yang dialam I oleh Imam Syafi'I ; dari penemuan hadits, pandangan dan kondisi social baru yang tidak ia temui selama tinggal di Irak, atau refleksi dari kehidupan social yang berbeda.
D.                Pelestarian Mazhab dan Akhir Zaman Keemasan
Sebagaimana dikatakan, meskipu mazhab fiqih berkembang begitu banyak, tetapi yang berkembang hingga sekarang hanya sebagian kecil. Mazhab fiqh Islam yang muncul setelah sahabat dan kibar al-tabi'in berjumlah 13 aliran.
1.                  Abu Said al-Hasanibn Yasar al-Bashri
2.                  Abu Hanifah
3.                  Al-Auza'i
4.                  Sufyan ibn Sa'id ibn Masruq a-Tsauri
5.                  Al-Laits ibn Sa'ad.
6.                  Muhammad ibn Idris As-Syafi'i
7.                  Ahmad  ibn Hanbal
8.                  Daud ibn Ali as-Ashbahani al-Baghdadi
9.                  Ishaq ibn Rahawaih
10.              Abu Tsaur Ibrahim ibn Khalid al_khalabi
Persoalannya adalah mengapa hanya beberapa mazhab yang hidup dan berkembang hingga saat ini?
Aliran-aliran fiqh yang berkembang hingga saat ini dimungkinkan karena adanya dukungan penguasa. Mazahab Hanafi mulai berkembang ketika Abu Yusuf, murid Abu hanifah, diangkat menjadi qadli (hakim) dalam pemerintyahan tiga khalifah Abasyiah, yaitu al-Mahdi, al-HAdi, dan Harun Al-Rasyid. Al-Kharaj adalah kitab yang disusun atas permintaan kahalifah Harun alRasyid.
Mazhab Malik berkembang atas dukungan al-Manshurdi Khilafah Timur dan Yahya ibn Yahya ketika diangkat menjadi qadli oleh para penguasa Andalusia. Di Afrika, Muiz Badis mewajibkan seluruh penduduk mengikuti mazhab Maliki.
Mazhab Syafi'I membesar di Mesir setelah Shalahuddin al-Ayubi merebut negeri itu. Mazhab Hanbali menjadi kuat setelah al-Mutawakil diangkat menjadi Khalifah Abasyiah. Ketika itu, al-Muttawakil tidak akan mengangkat seorang qadli kecuali atas persetujuan Ahmd ibn Hanbal .
Apabila pengikut suatu mazhab diberi wewenang untuk menetapkan keputusan hukum dan berfatwa, dan tulisan mereka terkenal di mata masyarakat, masyarakat mempelajari mazhab itu seara terang-terangan.Dengan cara itu, mazhab itu tersebar ke berbagi daerah yang dikuasainya. Apabila pengikut mazhab itu lemah dan tidak memiliki wewenang untuk menetapkan hukum dan berfatwa, mazhab itu tidak akan dipelajari oleh masyarakat dan akhirnya hilang.
Dynasti Bani Abbas berjasa dalam melestarikan mazhab Hanafi dengan mengangkat Abu Yusuf sebagi hjakim agung; Dynafti Fatimiah berjasa dalam melestarikan mazhab Ismailiah; dynasti Umayah di Andalusia berjasa dalam meleatarikan mazhab Syafi'I; dan dinasti Su'udiah di Saudi Arabia berjasa dalam melestarikan mazhab Hanbali. Demikian salah satu jawaban mengapa ada mazhab fiqh yang hilang dan ada yang masih berkermbang hingga saat ini.
Akhir zaman keemasa fiqh adalah ketidakmunculan Mujtahid mutlak yang dapat membangun cara dan mekanisme berfikir hingga tidak ada lagi mujtahid pendiri mazahab. Akhir zaman keemazan itu adalah ketika ijtihad ditutup sehingga ulama tidak lagi berijtihad kecuali ijtihad dengan mengingatkan diri pada aliran fiqh tertentu.
Beberapa peneliti berkesimpulan bahwa pendapat tentang ijtihad telah tertutup, muncul pada abad IV H. menurut Muhammad Ali al_Sayyis, dalam kitab Nasyi'at al-Fiqh al-Ijtihadi wa Athwaruh, setelah ibn Jarir al-Thabari tidak terdapat lagi mujtahid mutlak. Ketertutupan ijtihad muncul karena diskusi antara ibn Aqil, menganut mazhab Hanbali, dengan seseorang penganut mazhab Hanafi yang namanya tidak diketahui. Dalam diskusi itu, Ibn Aqil menolak pendapat rekan diskusinya yang menyatakan bahwa ijtihad telah tertutup.











REFERENSI

v     Dr. Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam (Bandung, ROSDA: 2000)
v     Rosihon Anwar, Sejarah Peradaban Islam (Bandung, Pustaka Setia: 2006)
v     Mun'im Asirry, Sejarah Fiqh Islam (Surabaya, Risalah Gusti: 1997)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar