Minggu, 18 Desember 2011

Isbath Nikah (Ngaji di Syekh Nurjati Cirebon)


BAB I
ABSTRAK


Pernikahan adalah suatu proses untuk “mengikat” dua sejoli dalam satu ikatan yang suci, sebagai gerbang membina sebuah rumah tangga. Karena itu ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi agar pernikahan tersebut sah secara agama dan sah secara hukum. Pernikahan sah secara agama apabila pernikahan tersebut sesuai dengan ajaran agama yang dianut. Sedangkan pernikahan tersebut dikatakan sah secara hukum apabila sesuai dengan hukum pernikahan yang berlaku
Makalah ini membahas tentang problema pengesahan nikah pada Pengadilan Agama dalam kaitannya dengan perkara warisan. Perkawinan merupakan akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki- laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang rasa ketenteraman dan rasa kasih sayang. Menurut syariat Islam, suatu perkawinan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki- laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa ketenteraman dan rasa kasih sayang.
Menurut syariat Islam, suatu perkawinan dianggap sah apabila telah memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun perkawinan.Selain itu, menurut undang- undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, sahnya suatu perkawinan bila dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaannya, disahkan dan dibuktikan dengan akta nikah.
Untuk di Indonesia, pernikahan dianggap sah secara hukum apabila sesuai dengan Undang-Undang Pernikahan, yang telah ada. Dalam undang-undang pernikahan tersebut juga disebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pernikahan.








BAB II
PEMBAHASAN


Pengesahan nikah adalah pernyataan pengadilan agama tentang sahnya nikah yang telah dilangsungkan terlebih dahulu dari suami istri yang bersangkutan.[1] Hal ini dilakukan apabila surat nikah suami istri tersebut rusak, hilang, atau memang tidak pernah memiliki surat nikah, maka suami istri atau orang lain yang berkepentingan dapat meminta kepada pengadilan agama supaya berdasarkan pemeriksaan dari saksi-saksi atau bukti-bukti lain dapat menyatakan bahwa suami istri tersebut betul-betul pernah menikah secara sah, dimana pernyataan tersebut dapat dijadikan sebagai pengganti surat nikah untuk suatu keperluan misalnya pada waktu permintaan pensiun bagi janda pegawai negeri.
Demikian pula halnya pada waktu pembagian harta warisan, terutama jika diantara ahli warisnya ada yang meragu-ragukan sahnya suatu perkawinan ahli warisnya yang lain. Maka dengan pernyataan pengadilan agama yang demikian itu dapat digunakan sebagai pengganti surat nikah untuk memperoleh harta warisan.
Perkawinan dan kekerabatan yang dimaksud adalah yang dapat dibuktikan secara hukum, yakni akta nikah. Namun jika akta tersebut hilang atau tidak ada,maka dapat diminta itsbat nikah (pengesahan nikah) di Pengadilan agama. Pengesahan tersebut merupakan bukti yang sangat penting dan sah secara hukum.
A.      SEKILAS TENTANG PENCATATAN PERKAWINAN
1.  Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku (pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974). Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedang bagi yang beragama Katholik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS).
2.  Pencatatan bagi Penganut Kepercayaan
Sampai saat ini belum ada kebijakan yang jelas tentang pencatatan perkawinan bagi penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN) dalam putusannya nomor 024/G.TUN/1997. PTUN Jakarta, menyatakan bahwa KCS tidak berwenang menolak pencatatan penganut kepercayaan. Sampai saat ini ternyata KCS tidak mau melaksanakan putusan-putusan tersebut dan KCS menyatakan tunduk pada keputusan Menteri Dalam Negeri yang pada pokoknya melarang KCS mencatat perkawinan penganut kepercayaan.
Perbuatan KCS ini jelas bertentangan dengan keputusan-keputusan yang telah ada dan bertentangan pula dengan pasal 16 ayat 2 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang telah diratifikasi dengan UU No. 7 tahun 1984 yang intinya menyatakan kewajiban bagi negara peserta, termasuk Indonesia, menetapkan usia minimum untuk kawin dan untuk mewajibkan pendaftaran perkawinan di Kantor Catatan Sipil yang resmi.
3.  Akibat Hukum tidak dicatatnya Perkawinan
a.      Perkawinan Dianggap tidak Sah
Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara perkawinan Anda dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil.
b.      Anak Hanya Mempunyai Hubungan Perdata dengan Ibu dan Keluarga Ibu
Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu (Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Perkawinan). Sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada.
c.       Anak dan Ibunya tidak Berhak atas Nafkah dan Warisan
Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya. Namun demikian, Mahkamah Agung RI dalam perkara Nugraha Besoes melawan Desrina dan putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam perkara Heria Mulyani dan Robby Kusuma Harta, saat itu mengabulkan gugatan nafkah bagi anak hasil hubungan kedua pasangan tersebut.
4.  Sahnya Perkawinan
Sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan).[2] Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) atau pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya (bagi yang non muslim), maka perkawinan tersebut adalah sah, terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat.
Karena sudah dianggap sah, akibatnya banyak perkawinan yang tidak dicatatkan. Bisa dengan alasan menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman adiministrasi dari atasan, terutama untuk perkawinan kedua dan seterusnya (bagi pegawai negeri dan ABRI). Perkawinan tak dicatatkan ini dikenal dengan istilah Perkawinan Bawah Tangan (Nikah Syiri’).
5.  Pengesahan Perkawinan
Bagi umat Islam, tersedia prosedur hukum untuk mengesahkan perkawinan yang belum tercatat tersebut, yaitu dengan pengajuan Itsbat Nikah. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 7 ayat 2 dan 3 dinyatakan, bahwa dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.[3]
6.  Pencatatan Perkawinan
Pencatatan perkawinan amatlah penting, terutama untuk mendapatkan hak-haksuami-isteri, seperti warisan dan nafkah bagi anak-anak. Jadi sebaiknya, sebelum memutuskan menjalani sebuah perkawinan di bawah tangan (nikah syiri’), pikirkanlah terlebih dahulu. Jika masih ada kesempatan untuk menjalani perkawinan secara resmi, artinya perkawinan menurut negara yang dicatatkan di KUA atau KCS, pilihan ini jauh lebih baik. Karena jika tidak, ini akan membuat kesulitan ketika kita menuntut hak-hak kita, wabil khusus kaum perempuan.
B.     PENTINGNYA ISHBAT NIKAH 
Dampak tinggalan budaya perkawinan bawah tanggan atau istilahnya nikah sirri (kawin siri’) membuat susah sebagian masyarakat untuk mendapat hak kependudukan. Meski masih menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, praktek perkawinan bawah tangan hingga kini masih banyak terjadi. Padahal, perkawinan bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi perempuan.
Perkawinan bawah tangan atau yang dikenal dengan berbagai istilah lain seperti ‘kawin bawah tangan’, ‘kawin siri’ atau ‘nikah sirri’, adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di kantor pegawai pencatat nikah (KUA bagi yang beragama Islam, Kantor Catatan Sipil bagi non-Islam).
Tidak dipungkiri, dogma agama yang kuat dalam kehidupan masyarakatnya membuat masyarakatnya mematuhi ajaran yang diberikan oleh tokoh agama. Stigma anak durhaka jika tidak menurut orang tua bila menolak dinikahkan sangat lekat pada masyarakat. Ditambah budaya masyarakat bahwa menikah usia 17 dianggap tidak “laku” atau nggak payu  sehingga akan menjadi omongan di lingkungan sekitarnya.”
a)      Pandangan Sistem Hukum Indonesia
Sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah ‘kawin bawah tangan’ dan semacamnya serta tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan. Namun, secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan undang-undang yang berlaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan pasal 2 ayat 2.
Meski secara agama atau adat istiadat dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah dimata hukum.
b)      Dampak Dari Perkawinan Bawah Tangan
Perkawinan bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi istri dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun sosial. Secara hukum tidak dianggap sebagai istri sah; tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia; dan tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan dianggap tidak pernah terjadi. Secara sosial akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan bawah tangan sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan (alias kumpul kebo) atau dianggap menjadi istri simpanan.
Terhadap anak, tidak sahnya perkawinan bawah tangan menurut hukum negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum, yakni: Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya (pasal 42 dan pasal 43 UU Perkawinan, pasal 100 KHI). Di dalam akte kelahirannyapun statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya.
Selain itu ketidakjelasan status si anak di muka hukum, mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya. Yang jelas merugikan adalah, anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya
Sedangkan terhadap laki-laki atau suami hampir tidak ada dampak mengkhawatirkan atau merugikan bagi diri laki-laki atau suami yang menikah bawah tangan dengan seorang perempuan. Yang terjadi justru menguntungkan, karena suami bebas untuk menikah lagi, karena perkawinan sebelumnya yang di bawah tangan dianggap tidak sah dimata hukum. Suami bisa berkelit dan menghindar dari kewajibannya memberikan nafkah baik kepada istri maupun kepada anak-anaknya. Tidak dipusingkan dengan pembagian harta gono-gini, warisan dan lain-lain.
c)      Itsbat Nikah Sebuah Solusi
Apa yang dapat dilakukan bila perkawinan bawah tangan sudah terjadi? Bagi yang beragama Islam ada beberapa solusi seperti itsbat nikah.
Bagi yang beragama Islam, namun tak dapat membuktikan terjadinya perkawinan dengan akte nikah, dapat mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan/pengesahan nikah) kepada Pengadilan Agama[4]
Namun Itsbat Nikah ini hanya dimungkinkan bila berkenaan dengan:
  1. dalam rangka penyelesaian perceraian
  2. hilangnya akta nikah
  3. adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
  4. perkawinan terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan
  5. perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1/1974.
Artinya, bila ada salah satu dari kelima alasan diatas yang dapat dipergunakan, dapat segera mengajukan permohonan Istbat Nikah ke Pengadilan Agama. Sebaliknya, akan sulit bila tidak memenuhi salah satu alasan yang ditetapkan. Tetapi untuk perkawinan bawah tangan, hanya dimungkinkan itsbat nikah dengan alasan dalam rangka penyelesaian perceraian. Sedangkan pengajuan itsbat nikah dengan alasan lain (bukan dalam rangka perceraian) hanya dimungkinkan jika sebelumnya sudah memiliki Akta Nikah dari pejabat berwenang.
Jangan lupa, bila telah memiliki Akte Nikah harus segera mengurus Akte Kelahiran anak-anak ke Kantor Catatan Sipil setempat agar status anak pun sah di mata hukum. Jika pengurusan akte kelahiran anak ini telah lewat 14 (empat belas) hari dari yang telah ditentukan, terlebih dahulu harus mengajukan permohonan pencatatan kelahiran anak kepada pengadilan negeri setempat. Dengan demikian, status anak-anak dalam akte kelahirannya bukan lagi anak luar kawin.
Cara kedua adalah dengan melakukan perkawinan ulang. Perkawinan ulang dilakukan layaknya perkawinan menurut agama Islam. Namun, perkawinan harus disertai dengan pencatatan perkawinan oleh pejabat yang berwenang pencatat perkawinan (KUA). Pencatatan perkawinan ini penting agar ada kejelasan status bagi perkawinan.
Namun, status anak-anak yang lahir dalam perkawinan bawah tangan akan tetap dianggap sebagai anak di luar kawin, karena perkawinan ulang tidak berlaku surut terhadap status anak yang dilahirkan sebelum perkawinan ulang dilangsungkan. Oleh karenanya, dalam akte kelahiran, anak yang lahir sebelum perkawinan ulang tetap sebagai anak luar kawin, sebaliknya anak yang lahir setelah perkawinan ulang statusnya sebagai anak sah yang lahir dalam perkawinan.





BAB III
KESIMPULAN

Itsbat Nikah adalah sebuah solusi bagi yang beragama Islam yang telah menikah secara sah menurut ketentuan agama, namun tak dapat membuktikan terjadinya perkawinan dengan akte nikah. Maka dapat mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan/pengesahan nikah) kepada Pengadilan Agama (Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 7).
Pengesahan nikah berbeda dengan pernikahan yang sah, atau seperti pertanyaan petugas Pencatat Nikah kepada para saksi. Pengesahan nikah hanya dapat dilakukan pada Pengadilan Agama. Yakni pernyataan Pengadilan Agama tentang sahnya nikah yang telah dilangsungkan terlebih dahulu dari suami istri yang bersangkutan. Hal ini dilakukan apabila surat nikah suami istri tersebut rusak, hilang, atau memang tidak pernah memiliki surat nikah, maka suami istri atau orang lain yang berkepentingan dapat meminta kepada pengadilan agama supaya berdasarkan pemeriksaan dari saksi-saksi atau bukti-bukti lain dapat menyatakan bahwa suami istri tersebut betul-betul pernah menikah secara sah, dimana pernyataan tersebut dapat dijadikan sebagai pengganti surat nikah untuk suatu keperluan.










REFERENSI

·              UU 1/1974 tentang Perkawinan
·              KHI (Kompilasi Hukum Islam)
·              Pedoman Pegawai Pencatatan Nikah (PPN) DEPAG RI




[1] Pedoman Pegawai Pencatatan Nikah (PPN) DEPAG RI

[2] UU 1/1974 tentang Perkawinan hlm 45
[3] KHI (Kompilasi Hukum Islam) hlm. 89
[4] Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar