Sabtu, 30 Oktober 2010

FIKIH MUNAKAHAT (Adhie/ IAIN-Syekh Nurjati/ AAS 2006)




A.   SELAYANG PANDANG ATURAN ISLAM DALAM PERNIKAHAN
  1. Sekilas Pernikahan dalam Islam
Islam yang mensyareatkan pernikahan, tidak hanya berhenti pada sekedar menyuruh ummatnya menikah, tapi juga mengatur segala yang terkait dari pernikahan supaya menjamin pencapaian tujuan mulia pernikahan. Aturan Islam dalam hal ini merupakan aturan yang terbaik dan paling cocok bagi kehidupan manusia, karena berasal dari Allah, Sang Pencipta manusia yang tentunya lebih memahami ciptaanNya.
Pernikahan diawali oleh ketertarikan seorang pria pada lawan jenisnya. Dianjurkan memilih pasangan yang baik agamanya tapi tanpa mengabaikan kecocokan dan kecondongan pada sisi-sisi manusiawi yang ada. Jika sudah mantap dengan pilihannya, maka dilanjutkan pada proses peminangan atau khitbah. Islam mengatur peminangan ini dengan melarang orang muslim meminang wanita yang telah dipinang oleh muslim lainnya. Dalam masa peminangan ini masing-masing berkesempatan untuk melakukan persiapan bagi lancarnya upacara pernikahan dan kehidupan baru yang akan dijalani bersama oleh suami dan istri. Peminangan tidak menimbulkan konsekwensi hukum sebagaimana pernikahan, karena sampai di sini kedua pihak belum dianggap sebagai suami istri. Pinangan tidak bersifat mengikat dan dapat membatalkan peminangan jika diperlukan. Peminangan dilanjutkan dengan upacara akad nikah yang diatur oleh Islam dengan syarat dan rukunnya, seperti adanya dua mempelai, wali, saksi, mahar dan akad nikah itu sendiri. Islam menganjurkan adanya walimah atau pengumuman nikah. Setelah akad nikah, dimulailah hidup baru kedua mempelai dengan hak dan kewajiban yang melekat pada masing-masing suami dan istri, yang juga telah diatur oleh Islam. Jika diberi keturunan, maka Islam mengatur bagaimana hubungan antara anak dan kedua orang tua, yang wajib membimbing anak ke jalan yang diridhoi Allah, mengantarkan mereka menuju gerbang kehidupan yang mandiri yang kelak membentuk keluarga baru, demikian seterusnya. Sebagaimana lautan, rumah tangga pun tak selamanya aman dari goncangan.
Dengan sifat bijaksana suami dan istri maka halangan dan rintangan akan dapat diatasi. Islam telah memberi petunjuk bagaimana menyelesaikan permasalahan rumah tangga. Jika suami dan istri tidak dapat menyelesaikan permasalahan, maka hendaknya utusan dari masing-masing keluarga suami dan istri ikut turun tangan menyelesaikan permasalahan. Perkawinan diakhiri dengan perceraian yang merupakan pilihan terakhir setelah seluruh daya upaya dikerahkan untuk perdamaian. Jika terjadi perceraian, nasib anak hasil pernikahan tidak akan diabaikan. Islam tak mengabaikan anak-anak yang kedua orang tuanya harus bercerai. Islam mengharuskan sang Ayah untuk memberi nafkah pada anaknya baik yang diasuh oleh ayah maupun oleh ibu hingga dewasa. Sehingga anak tidak akan terlantar dan memperoleh haknya, yaitu pendidikan dan kasih sayang, akibat perceraian kedua orang tua. Jika anak masih wajib berbakti pada kedua orang tua setelah keduanya meninggal, maka anak pun masih wajib berbakti pada orang tua walaupun setelah keduanya terpisah karena perceraian.

BAB II
PERNIKAHAN

A.                  PERINTAH UNTUK MENIKAH DALAM AL QUR’AN DAN SUNNAH NABI
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan." (QS. 13:38)
Para Nabi dan Rasul adalah mereka yang berjalan pada jalan yang lurus, jika mereka menikah maka sudah semestinya kita ikuti ajaran mereka.
وَأَنكِحُوا اْلأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang patut (kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang wanita.Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
 Pernikahan memerlukan bekal jasmani dan rohani, namun karena pentingnya pernikahan bagi seorang muslim, jika ada seorang muslim yang berniat menjaga dirinya dengan menikah namun masih belum mampu dalam finansial maka kaum muslimin secara umum diperintahkan untuk membantunya melaksanakan pernikahan. Ini menunjukkan penekanan yang sangat kuat bagi seorang muslim untuk melangsungkan pernikahan.
Sesungguhnya pernikahan merupakan cara alami untuk menghadapi kecenderungan-kecenderungan seksual. Maka segala rintangan harus dihilangkan agar kehidupan berjalan normal sesuai tabiat dan kesederhanaannya. Rintangan harta benda merupakan rintangan pertama dalam rangka membangun rumah tangga dan membangun kehormatan jiwa.
Islam adalah system yang sempurna. Oleh karena itu Allah memerintahkan kepada kaum muslimin untuk membantu orang-orang yang dihalangi oleh kemampuan harat benda untuk menikah secara halal.
Al-Ayaama adalah orang-orang yang tidak memiliki pasangan baik pria maupun wanita. Tetapi, yang dimaksud ayat ini adalah orang-orang yang merdeka. Kemudian untuk budak disebutkan secara khusus setelah itu.2
Mereka semua kekurangan harta benda dan dapat dipahami dari lanjutan ayat setelahnya, “... jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya...”
Ini merupakan perintah kaum muslimin untuk menikahkan mereka. Pendapat Jumhur ulama menyatakan itu adalah mensunahkan. Dalil mereka adalah pada zaman Rasulullah banyak dari Al-Ayaama itu tidak dinikahkan. Jika wajib, maka mereka semua pasti sudah dinikahkan.3 Sayyid Qutb berpendapat wajib, tetapi bukan berarti para pemimpin harus memaksa Al-Ayaama untuk menikah.4
Kefakiran tidak boleh menjadi penghalang orang-orang dari menikah, selama mereka pantas untuk menikah dan menginginkannya. Rizki itu berada ditangan Allah,dan Allah yang menjamin kekayaan bagi mereka, bila mereka memilih cara suci dan terhormat. 5
Demikian ayat Al Qur’an yang memerintahkan kita untuk menikah. Nabi Muhammad Sallalahu Alaihi Wasallam juga menekankan perintah untuk menikah dalam hadits yang tercantum dalam literatur-literatur hadits. Di antaranya adalah sebagai berikut : 
... أَمَا وَ اللهِ إِنِّيْ لَأَخْشَاْكُمْ ِللهِ وَ أَتْقَاكُمْ لَهُ, لَكِنِّيْ أَصُوْمُ وَ أَفْطُرُ, وَ أُصَلِّيْ وَ أَرْقُدُ وَ أَتَزَوَّجُ النِّـسَاءَ, فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ
“ Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut pada Allah dan paling bertaqwa di antara kalian, tapi aku berpuasa dan makan, sholat malam dan tidur dan aku pun menikahi wanita, barang siapa tidak suka dengan sunnahku maka dia bukanlah bagian dari ummatku “
Dalam hadits ini Nabi memerintahkan orang muslim untuk menikah dan meninggalkan kerahiban walaupun dengan alasan supaya lebih berkonsentrasi pada melaksanakan ibadah dan amalan akherat. Hadits ini juga menjelaskan bahwa menikah adalah ajaran Nabi yang harus diikuti. Maka bagi pemuda yang telah siap jasmani dan rohani rohani hendaknya segera memulai upaya untuk menuju pernikahan. 
B.     TUJUAN PERNIKAHAN DALAM ISLAM
Berikut ini adalah sebagian dari tujuan pernikahan dalam Islam :
1. Sebagai salah satu bentuk pengabdian pada Allah yang berujung pada ridho Allah dan perolehan pahala.
Allah memerintahkan kaum muslimin untuk menikah, sedang telah kita ketahui bahwa dalam pelaksanaan setiap perintah Allah pasti ada pahala yang dijanjikan. Maka menikah merupakan salah satu sarana untuk menambah pahala, yang kelak menjadi pemberat timbangan amal di akherat. Selain pernikahan itu sendiri menghasilkan pahala, dalam masih banyak sarana pencarian pahala yang terwujud sebagai dampak positif pernikahan. Di antaranya adalah pahala yang didapat dari hubungan suami istri. Nabi Sallalahu Alaihi Wasallam bersabda :
...وَ فِيْ بُــضْـعِ أَحَدِكُمْ أَهْلَهُ صَدَقَةٌ. قَالُوْا : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيَاْتِيْ أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَ يَكُوْنُ فِيْهَا أَجْرٌ؟ قَال أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِيْ حَرَامٍ, أَكَانَ عَلَيْهِ فِيْهَا وِزْرٌ؟ فَكذَلِكَ لَوْ وَضَعَهَا فِيْ الحَلاَلِ, كَانَ لَهُ أَجْر
...Seseorang akan mendapat pahala jika menggauli istrinya. Para sahabat bertanya : Wahai Rasulullah apakah dengan menyalurkan syahwat kita akan mendapatkan pahala? Nabi menjawab : jika disalurkan ke jalan yang haram apakah tidak berdosa? Begitu juga jika disalurkan ke jalan yang halal maka akan mendapat pahala.
 Dengan menikah dan menghasilkan keturunan, maka kedua orang tua yang mendidik keturunannya dengan baik akan memperoleh pahala dari kebaikan yang dilakukan oleh keturunannya, baik semasa orang tua hidup maupun setelah meninggal dunia. Jika kedua orang tua diberi umur panjang, akan menuai hasil pendidikan yang baik dari keturunan mereka berdua. Anak cucu pasti akan berbakti dan berbuat baik pada kedua orang tua dan tak akan menelantarkan kedua orang tua. Anak akan merasa bahwa budi kedua orang tua padanya tak akan pernah terbalas. Belum lagi pahala yang menunggu di akherat sebagai hasil kebaikan anak yang diperbuat akibat didikan orang tua. Selain itu anak-anak yang terdidik dengan baik akan selalu mendoakan kedua orang tua, baik semasa hidup maupun setelah meninggal dunia. Sebuah kesempatan untuk menambah pahala setelah meninggal dunia. 
2. Sebagai penyaluran hasrat biologis manusia dalam rangka mendapatkan keturunan.
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ .فِي ذَلِكَ لأَيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”( Q.S Ar-Rum : 21)
Ma'qil bin Yasar ra telah berkata : Ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah saw, seraya berkata: "Ya Rasulullah, aku mencintai seorang wanita berdarah biru (berketurunan tinggi) lagi kaya, hanya saja dia mandul. Bolehkah aku mengawininya?" Maka Rasulullah pun melarangnya. Kemudian datang lagi seorang lelaki lain (yang kedua), mengajukan pertanyaan serupa. Lalu datang lagi lelaki lain (yang ketiga), mengajukan pertanyaan serupa. Maka kemudian Rasulullah saw bersabda: "Niikahilah wanita yang keibuan dan banyak anak (kuat bersanggama). Sebab dengan anak turunmu kelak (pada hari kiamat) aku akan berlomba banyak- banyakan umat." (HR Abu Dawud dan Hakim).
Allah yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui menciptakan seluruh makhluk berpasang-pasangan, termasuk manusia juga diciptakan berpasang-pasangan. Demikianlah berpasang-pasangan adalah menjadi syarat bagi terjadinya perkembangbiakan. Jika manusia tidak memiliki pasangan maka tidak akan pernah berkembang biak. Demikian jika kita lihat dalam skala lebih besar, jika suatu bangsa tidak lagi berminat melaksanakan pernikahan, maka bangsa tersebut di ambang kepunahan, karena tidak adanya perkembangbiakan yang menjamin kelangsungan generasi bangsa itu.
Akhirnya tanpa perkawinan, umat manusia akan terancam kepunahan. Mungkin ini adalah salah satu hikmah manusia diciptakan memiliki rasa tertarik pada lawan jenis, sehingga masing-masing jenis condong dan tertarik pada lawan jenisnya dan melangsungkan perkawinan. Inilah salah satu tujuan perkawinan dalam Islam, yaitu untuk menyalurkan hasrat ketertarikan yang ada pada manusia yang membawa efek kelangsungan generasi manusia.
Tapi apakah tujuan perkawinan hanyalah sekedar pemuasan nafsu biologis semata? Jika kita perhatikan pada makhluk hidup selain manusia, ada yang dalam memuaskan nafsu biologis tidak memerlukan lembaga perkawinan, sehingga masing-masing tidak memiliki keterikatan kecuali hanya sekedar demi hasrat bersama lalu ikatan itu pun hilang setelah tercapainya hasrat itu. Berarti lembaga perkawinan memiliki tujuan yang luhur, tidak sekedar demi mencapai kepuasan biologis yang tidak hanya terdapat pada manusia. Islam mengatur ini karena masalah hubungan biologis manusia tidak seperti makhluk lain, karena manusia kelak akan menghasilkan keturunan yang memiliki tujuan hidup, yang memerlukan pendidikan dan kasih sayang, yang mutlak penting bagi mereka supaya mereka tumbuh kelak dapat menjalankan misinya, memakmurkan bumi.
 Maka Islam mengatur masalah hubungan biologis dan memberinya wadah penyaluran yang tepat, yaitu pernikahan, guna mendapatkan keturunan. Nabi Sallalahu Alaihi Wasallam menganjurkan ummatnya agar menikahi wanita yang penyayang lagi subur, karena salah satu tujuan pernikahan adalah untuk memperbanyak keturunan dan kwantitas umat Islam.

 3. Menjaga stabilitas sosial masyarakat.
Dengan adanya pernikahan maka masyarakat akan terjaga dari bencana yang ada akibat terjadinya perzinaan. Karena jika tidak ada penyaluran nafsu biologis di jalan yang seharusnya maka yang terjadi adalah perzinaan. Sedang perzinaan akan mengakibatkan bencana yang luar biasa dahsyatnya bagi kemanusiaan. Oleh karena itu Allah menetapkan bahwa berzina adalah dosa besar yang ketiga, setelah syirik dan membunuh manusia tanpa ada alasan syar’i. Jika kita perhatikan, menyebarnya perzinaan akan merusak pribadi yang berakibat rusaknya tatanan sosial masyarakat. Masyarakat perlahan akan menjauhi lembaga perkawinan yang menuntut tanggung jawab karena sudah dapat melampiaskan nafsunya dengan berzina. Akibat lain yang timbul karena perzinaan adalah tersebarnya penyakit seksual yang berbahaya merongrong kesehatan masyarakat. Dapat kita lihat dewasa ini, dunia masih terus berupaya menemukan obat yang menyembuhkan penderita AIDS, yang sering menimpa para pezina. Jika perzinaan merebak, maka jumlah anak yang lahir di luar lembaga perkawinan akan terus meningkat. Siapa yang bertanggungjawab atas kehidupan mereka? Sedangkan anak-anak itu tinggal di bawah asuhan ibu mereka yang sibuk mencari nafkah hingga tak lagi sempat untuk mendidik mereka dengan benar. Anak-anak yang tak sempat dididik dengan benar itu kelak akan membebani masyarakat. Apakah negara harus menyediakan panti asuhan yang menjamin kehidupan mereka hingga dewasa? Akhirnya orang akan malas menikah dan jumlah generasi muda pun menurun. Maka pemerintah sudah semestinya memikirkan cara agar rakyat tidak mendapati kesulitan untuk menikah, guna menjaga kestabilan sosial yang pada akhirnya akan berakibat positif bagi negara itu sendiri.
4. Mendapatkan ketenangan bagi jiwa manusia.
Allah memberikan perumpamaan bagi sifat hubungan dua jenis manusia dengan pakaian, yang selalu dibutuhkan manusia setiap saat.
Ini adalah penjelasan dari Allah, yang menciptakan manusia, menetapkan bahwa kedua jenis manusia selalu saling memerlukan. Jika manusia nampak tidak sempurna jika tanpa pakaian, maka kehidupan masing-masing jenis manusia tidak akan sempurna tanpa pendamping dari jenis lain. Bentuk hubungan yang saling melengkapi itu hanya ada dalam lembaga perkawinan. Tanpa lembaga perkawinan, tidak akan pernah ada proses saling melengkapi antara laki-laki dan wanita. Suami dengan organ fisiologis dan psikologis yang diciptakan untuk mengarungi gelombang kehidupan yang dahsyat, akan berperan sebagai kepala keluarga yang mencari nafkah bagi keluarganya. Sementara istri dengan organ fisiologis dan psikologis yang diciptakan untuk mendidik dan menjadi ibu, akan menjadi ibu yang baik di rumah, mendidik generasi muda penerus masyarakat. Suami yang penat menanggung beban kehidupan akan mendapat ketenangan di rumahnya, yang nyaman dengan istri menyambut setelah seharian di luar rumah. Begitu juga istri yang memerlukan sosok pemimpin yang tegar, akan merasa tenang hidupnya dengan suami yang mendampingi, memberikan rasa aman dan ketentraman dalam hidup. Allah berfirman :
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لأَيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ[1]
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.
 Ibnu Katsir menerangkan dalam tafsirnya mengenai ayat ini :
Jika Allah menjadikan seluruh anak Adam adalah laki-laki dan menjadikan jodoh dan istrinya dari jenis lain seperti jin dan hewan maka tidak akan pernah terjadi rasa cinta dan kasih sayang, yang akan terjadi adalah rasa benci dan ketidakcocokan jika dijadikan istrinya adalah dari jenis lain selain manusia. Sebagian dari kesempurnaan RahmatNya adalah dengan menjadikan jodoh anak Adam adalah dari jenisnya sendiri dan menjadikan antara mereka dan istri-istri mereka rasa cinta dan kasih sayang. Seorang laki-laki memperistri seorang wanita karena rasa cinta yang ada atau karena rasa kasih sayang dan belas kasih padanya demi mengharap keturunan dan karena si istri memerlukan suami dalam hal nafkah atau untuk mempererat hubungan antara mereka berdua.
Dalam ayat jelas disebutkan bahwa ketenangan akan terwujud setelah adanya istri. Sedangkan yang disebut istri adalah seorang wanita yang menikah dengan seorang pria. Tanpa pernikahan tak akan pernah ada ketenangan jiwa walaupun hasrat biologis terpenuhi. Ini sekali lagi membuktikan bahwa tujuan pernikahan tidak hanya sekedar menyalurkan hasrat biologis. 
b.      BEBERAPA HUKUM PERNIKAHAN DALAM ISLAM.
Istri hanya ada dalam tiga bentuk yaitu istri merdeka, istri budak atau budak sahaya.
"Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu.."
Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaanya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki...
dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
Pernikahan menimbulkan akibat hukum bila salah satu dari suami istri meninggal maka suami atau istrinya berhak mendapat warisan
An-Nissa 12
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu...”
Hubungan pernikahan terputus dengan talak cerai, fasakh
Al-Baqarah 231
"Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir idahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'rufpula)
Istri yang telah ditalak tiga dilarang rujuk kembali sebelum menikah dengan pria lain.
Al-Baqarah 230
 Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikanya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, ditengkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.
Cinta dan kasih sayang adalah pondasi pernikahan
Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya.
 Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.
Suami wajib memberi tempat tinggal bagi istri
At-Thalaq 6
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”
Haram beristri lebih dari empat orang
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Dilarang menikah dengan wanita yang telah bersuami
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu
Bersabda Tuhan “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami …” Al-Muhshanat, arti asalanya adalah telah dibentengi.sebab apabila seorang perempuan telah bersuami maka dia telah dibentengi oleh suaminya, sehingga orang sudah tidak boleh masuk ke dalam lagi.
Wanita bersuami ini termasuk golongan wanita yang haram dinikahi, karena mereka berada di bawah perlindungan dan tanggungan lelaki lain. Mereka di bawah pemeliharaan suami mereka.hal ini sebagai pelaksanaan kaidah pertama dalam system kemasyarakatan Islam, yang dibangun di atas pilar keluarga. Dipeliharanya keluarga ini dari segala macam noda percampuran nasab yang tidak karuan sebagaimana yang terjadi dalam masyarakat komunis dengan kebebasan seksualnya.
“…kecuali budak-budak yang kamu miliki..” perbudakan ini terjadi dalam sebab peperangan.dan peperangan itu hendaklah perang karena agama.
Keluarga yang ditegakkan di atas pernikahan yang jelas di mana seorang wanita sudah terkhusus sebagi istri dari lelaki tertentu, yang demikian terpenuhilah pemeliharaaan dan penjagaan dirinya. Mak hal ini merupakan peraturan yang sempurna yang sesuai dengan fitrah manusia.dan kebutuhannya yang hakiki.
Dilarang menikah dengan pelacur hingga bertobat 

Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina, atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mu'min.[35] 
Dilarang menikah dengan Wanita dalam hubungan nasab, persusuan dan perbesanan
Surat An-Nisa, 4 : 23
 “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Wanita-wanita yang haram dinikahi. menurut Islam adalah golongan wanita yang dijelaskan dalam ayat ini, ayat sebelumnya dan ayat sesudahnya. Sebagaimana diharamkan untuk selamanya dan sebagian diharamkan dalam waktu tertentu. Sebagaian karena hubungan nasab, sebagaian disebabkan hubungan persusuan, sebagaian disebabkan hubungan mushaharah ‘perbesanan.
Setiap muslim diharamkan kawin dengan salah seorang perempuan yang tersebut di bawah ini:
1.       Isterinya ayah, baik yang ditalak biasa ataupun yang karena ditinggal mati oleh ayah Perkawinan semacam ini pada waktu zaman jahillah diperkenankan, yang kemudian oleh Islam dihapuskan. Sebab isteri ayah berkedudukan sebagai ibu. Maka diharamkannya mengawini bekas isteri ayah ini diantara hikmahnya ialah demi melindungi kehormatan ayah sendiri. Dan diharamkannya mengawini bekas isteri ayah ini untuk selamanya, adalah guna memutuskan keinginan si anak dan si ibu. Sehingga dengan demikian hubungan antara keduanya dapat berlangsung dengan langgeng atas dasar penyhormatan dan kewibawaan.
2.       Ibunya sendiri, termasuk juga nenek, baik dari pihak ayah ataupun dari pihak ibu.
3.       Anaknya sendiri, termasuk di dalamnya: cucu dan cabang-cabangnya.
4.       Saudaranya sendiri, baik sekandung, seayah maupun seibu.
5.       Bibinya sendiri (saudara ayah), baik dia itu sekandung, seayah atau seibu.
6.       Bibi sendiri dari pihak ibu (khalah) (saudaranya ibu), baik sekandung, seayah atau seibu.
7.       Anak dari saudara laki-lakinya (keponakan).
8.       Anak dari saudara perempuannya (keponakan).
Perempuan-perempuan tersebut diistilahkan dalam syariat Islam dengan nama mahram, sebab mereka itu diharamkan oleh Islam terhadap seorang muslim untuk selama-lamanya, dalam waktu apapun dan dalam keadaan apapun. Dan si laki-laki dalam hubungannya dengan perempuan-perempuan tersebut disebut juga mahram.

Perempuan yang Haram Dikawin Karena Ada Hubungan Susuan

Seorang laki-laki muslim diharamkah kawin dengan seorang perempuan yang menyusuinya sejak kecil. Sebab ibu yang menyusuinya itu dapat dihukumi sebagai ibu sendiri; dan air susunya yang diberikan kepada si anak tersebut dapat menumbuhkan daging dan membentuk tulang-tulang anak. Sehingga dengan demikian penyusuan itu dapat menumbuhkan perasaan keanakan dan keibuan antara kedua belah pihak.
Perasaan ini kadang-kadang dapat disembunyikan, tetapi penyimpanannya dalam akal justru akan tampak ketika terjadi suatu peristiwa.
Untuk dapat berpengaruhnya susunan ini kepada masalah perkawinan, maka disyaratkan harus dilakukan di waktu kecilnya si anak, yakni sebelum umur 2 tahun, di mana air susu ibu ketika itu merupakan satu-satunya makanan. Dan penyusuan dilakukan tidak kurang dari 5 kali serta mengenyangkan bagi si anak. Ukurannya, yaitu: si bayi tersebut baru meninggalkan tetek si perempuan, karena sudah merasa kenyang.
Membatasi penyusuan sampai 5 kali adalah menurut pendapat yang lebih kuat dan adil berdasar riwayat-riwayat yang ada.
Saudara sesusuan.
Kalau perempuan yang menyusui anak itu menjadi ibu bagi anak tersebut, maka begitu juga anak-anak perempuan si ibu tersebut menjadi saudara susu bagi anak yang disusui itu. Begitu juga bibi-bibi dan seluruh kerabatnya. Seperti yang diterangkan dalam Hadis Nabi yang mengatakan:
"Haram karena penyusuan, seperti apa yang haram karena nasab." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian, maka bibi-bibi, baik dari pihak ayah (ammah) atau dari pihak ibu (khalah) dan keponakan-keponakan, adalah haram bagi si anak tersebut.

Perempuan yang Haram Dikawin Karena Ada Hubungan Kekeluargaan Berhubungan dengan Perkawinan

11) Termasuk perempuan yang haram dikawin ialah: ibu mertua. Dia ini diharamkan oleh Islam karena semata-mata 'aqad yang telah berlangsung terhadap anak perempuannya, kendati belum dukhul. Sebab si ibu tersebut dalam hubungannya dengan si laki-laki itu berkedudukan sebagai ibu.
12) Anak perempuannya isteri (rabiibah), yaitu seorang isteri mempunyai anak perempuan dan ibunya dikawin oleh seorang laki-laki dan sudah didukhul. Jika belum dukhul, maka si laki-laki tersebut tidak berdosa kawin dengan anak isterinya itu.
13) Menantu (isterinya anak laki-laki). Sedang yang disebut anak di sini, ialah anak betul, bukan anak angkat. Sebab perlembagaan anak angkat telah dihapus oleh Islam dengan segala kaitannya, karena terdapat beberapa hal yang bertentangan dengan kenyataan yang dapat membawa kepada mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.
Firman Allah:
"Dia (Allah) tidak menjadikan anak-anak angkatmu itu sebagai anakmu sendiri. Yang demikian itu hanya omongan yang keluar dari mulut-mulutmu." (al-Ahzab: 4)
Yakni semata-mata panggilan lisan tidak dapat merubah kenyataan dan menjadikan orang asing sebagai kerabat.
Ketiga orang yang diharamkan ini, semata-mata karena suatu illat (sebab) yang mendatang, yaitu "hubungan kekeluargaan berhubung dengan perkawinan" (mushaharah). Seluruh hubungan yang kuat antara kedua suami-isteri menentukan keharaman ini.
1.             Pernikahan antara keluarga dekat itu dapat melemahkan keturunan bersamaan dengan perjalanan waktu. Secara genetikal, percampuran antara darah atau gen yang sama dapat menyebabkan kelemahan pada phisik keturunannya. Berbeda halnya dengan bila terjadi percampuran dengan darah baru dari orang lain (yang bukan keturunan sendiri) dengan unsure-unsur uang istimewa untuk memperbaharui generasinya.
2.             Bahwa perempuan yang penah menyusui dihukumkan sebagai ibu kandung. Dan haram pula kawin dengan saudara sepersusuan. Nabi dan hamzah pernah disusui oleh oleh perempuan bernama Tsuaibah, hamba sahaya Abu Lahab. Hamzah mati meninggalkan anak perempuan yang telah layak menikah. Lalu ditawarkan kerpada Rasulullah tapi rasul menolak dengan sabdanya :
“Dia tidaklah halal untukku sebab dia adalah anak saudaraku sepersusuan. Haramlah, karena sepersusuan sebagaimana haram karena seketurunan.” (Bukhari,Muslim dari Ibnu Abbas).
3.             Bahwa setiap manusia yang maju, fitrahnya (jiwa murninya) pasti tidak akan suka melepaskan nafsu seksnya kepada ibu, saudara atau anak. Bahkan binatang pun sebagiannya ada yang bersikap demikian. Sedang perasaannya kepada bibi sama dengan perasaannya terhadap ibu. Paman dari pihak ayah ataupun dari pihak ibu sekedudukan dengan ayah.
4.             Antara seorang laki-laki dan keluarga dekatnya (aqarib) mempunyai perasaan yang menghunjam yang mencerminkan suatu penghormatan. Maka akan lebih utama kalau dia mencurahkan perasaan cintanya itu kepada perempuan lain melalui perkawinan, sehingga terjadi suatu perhubungan yang baru dan rasa cinta kasih-sayang antara manusia itu menjadi sangat luas. Seperti yang dikatakan Allah:
"Dan Dia (Allah) akan menjadikan di antara kamu rasa cinta dan kasih-sayang." (ar-Rum: 21)
5.             Perasaan yang bersifat azali antara seseorang dengan keluarganya ini, harus dikukuhkan supaya terus bergelora agar perhubungan di antara sesama mereka itu dapat berlangsung terus. Mempertemukan perasaan ini melalui jenjang perkawinan dan terjadinya suatu pertengkaran, kadang-kadang dapat menimbulkan suatu perpisahan yang dapat menghilangkan keabadian dan kekekalan perasaan cinta tersebut.
6.             Keturunan yang diperoleh dari keluarga dekat, kadang-kadang tidak sempurna dan lemah. Kalau pada ruas seseorang itu ada kelemahan jasmani atau akal, maka hal ini akan bisa menular kepada keturunannya.
7.             Seorang perempuan sangat membutuhkan laki-laki yang melindunginya dan menjaga kemaslahatannya di samping suaminya, lebih-lebih kalau terjadi kegoncangan dalam perhubungan antara keduanya. Maka bagaimana mungkin dia akan dapat melindunginya kalau dia sendiri justru menjadi musuhnya?

6. Tafsir Ibnu Jarir.
BAB II
PERNIKAHAN
A  PERINTAH MENIKAH
"Dan Sesungguhnya kami Telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu).”  (Q.S Ar-Raad: 38)
Sesungguhnya pernikahan merupakan cara alami untuk menghadapi kecenderungan-kecenderungan seksual. Maka segala rintangan harus dihilangkan agar kehidupan berjalan normal sesuai tabiat dan kesederhanaannya. Rintangan harta benda merupakan rintangan pertama dalam rangka membangun rumah tangga dan membangun kehormatan jiwa. Islam adalah system yang sempurna. Oleh karena itu Allah memerintahkan kepada kaum muslimin untuk membantu orang-orang yang dihalangi oleh kemampuan harat benda untuk menikah secara halal.
a.  Menikahkan bagi yang belum kawin
Surat An-Nur : 32
 “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.”
Sesungguhnya pernikahan merupakan cara alami untuk menghadapi kecenderungan-kecenderungan seksual. Maka segala rintangan harus dihilangkan agar kehidupan berjalan normal sesuai tabiat dan kesederhanaannya. Rintangan harta benda merupakan rintangan pertama dalam rangka membangun rumah tangga dan membangun kehormatan jiwa.
Islam adalah system yang sempurna. Oleh karena itu Allah memerintahkan kepada kaum muslimin untuk membantu orang-orang yang dihalangi oleh kemampuan harat benda untuk menikah secara halal.
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya...”
Al-Ayaama adalah orang-orang yang tidak memiliki pasangan baik pria maupun wanita. Tetapi, yang dimaksud ayat ini adalah orang-orang yang merdeka. Kemudian untuk budak disebutkan secara khusus setelah itu.2

1 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Dzilalil Quran Jilid 8, Gema Insani, Jakarta 2004, Hal 237
2 ibid, hal 238
Mereka semua kekurangan harta benda dan dapat dipahami dari lanjutan ayat setelahnya,
“... jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya...”
Ini merupakan perintah kaum muslimin untuk menikahkan mereka. Pendapat Jumhur ulama menyatakan itu adalah mensunahkan. Dalil mereka adalah pada zaman Rasulullah banyak dari Al-Ayaama itu tidak dinikahkan. Jika wajib, maka mereka semua pasti sudah dinikahkan.3 Sayyid Qutb berpendapat wajib, tetapi bukan berarti para pemimpin harus memaksa Al-Ayaama untuk menikah.4

gfgf
Kefakiran tidak boleh menjadi penghalang orang-orang dari menikah, selama mereka pantas untuk menikah dan menginginkannya. Rizki itu berada ditangan Allah,dan Allah yang menjamin kekayaan bagi mereka, bila mereka memilih cara suci dan terhormat. 5
c. Menikah dengan wanita shalih yang subur
Surat A-Ruum : 21
21. dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
3. K.H Q. Shaleh, H.A. Dahlan, Ayat-Ayat Hukum, Dipobnegoro, Bandung 1993 Hal-233
4. Sayyid Qutb, Tafsir Fi Dzilalil Quran Jilid 8, Gema Insani, Jakarta 2004, Hal 237
5 Ibid, Hal-238
 

c. Poligami dan Monogami
Surat An-Nisa : 3
 “Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Ayat-ayat ini turun pada akhir-akhir tahun kedelapan Hijrah, setelah Nabi kawin dengan semua isterinya, maksudnya untuk membatasi jumlah isteri itu sampai empat orang, sementara sebelum turun ayat tersebut pembatasan tidak ada. Ini juga yang telah menggugurkan kata-kata orang: Muhammad membolehkan buat dirinya sendiri dan melarang buat orang lain. Kemudian turun ayat yang memperkuat diutamakannya isteri satu@ dan menganjurkan demikian karena dikuatirkan takkan berlaku adil dengan ditekankan bahwa berlaku adil itu tidak akan disanggupi. Hanya saja dalam keadaan kehidupan masyarakat yang dikecualikan ia melihat suatu kemungkinan yang mendesak perlunya kawin sampai empat dengan syarat berlaku adil. Dia telah melakukan itu dengan contoh yang diberikannya ketika kaum Muslimin terlibat dalam peperangan dan banyak di antara mereka itu yang gugur dan mati syahid.
Sehubungan dengan cerita tentang Zainab bt. Jahsy serta apa yang ditambah-tambahkan oleh beberapa orang ahli hadis, oleh kaum Orientalis dan misi-misi penginjil dengan bermacam-macam tabir khayal sehingga ia dijadikan sebuah cerita roman percintaan, sejarah yang sebenarnya dapat mencatat, bahwa teladan yang diberikan oleh Muhammad dan patut dibanggakan, dan sebagai contoh iman yang sempurna, ialah bahwa dia telah menerapkan bunyi hadis yang maksudnya: Iman seseorang belum sempurna sebelum ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Dirinya telah dijadikan contoh pertama manakala ia melaksanakan suatu hukum yang pada dasarnya hendak menghapus tradisi dan segala adat-istiadat jahiliah, dan yang sekaligus dengan itu ia menetapkan peraturan baru, yang diturunkan Tuhan sebagai bimbingan dan rahmat buat semesta alam.
6. Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar Jilid 2, PUSTAKA NASIONAL PTE LTD, Singapura, hal1052
7. mohammad Haekal, Sejarah Nabi Muhammad, http/ FajarIbrahim.com
Aisyah ra telah berkata: "Rasulullah saw selalu beitindak adil dan membagi waktunya dalam menggiliri istri-istrinya. Beliau selalu berdoa: "Ya Allah, ini adalah giliran yang aku lakukan sesuai dengan kemampuan yang ada padaku. Dan janganlah Engkau menuntut apa yang Engkau miliki, sedangkan aku tidak memilikinya. Yakni keadilan dalam hati." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya. Dan Imam Tirmidzi berkata, bahwa hadis ini mursal, Dan, itulah yang paling shahih).
"Orang-orang yang berlaku adil, di sisi Allah mereka berada di atas mimbar (panggung) yang terbuat dan cahaya yang gemerlapan, berada di sebelah kanan Allah. Padahal kedua tangan Allah adalah kanan (mulia). Mereka adalah orang-orang yang berbuat adil dalam memberikan hukum, berbuat adil kepada keluarga (istri-istrinya), dan adil terhadap apa yang menjadi kekuasannya." (HR, Muslim dan yang lain).
 “Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang Para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang Para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahuinya.”.
 Menurut adat Arab Jahiliyah seorang Wali berkuasa atas wanita yatim yang dalam asuhannya dan berkuasa akan hartanya. jika wanita yatim itu cantik dikawini dan diambil hartanya. jika wanita itu buruk rupanya, dihalanginya kawin dengan laki-laki yang lain supaya Dia tetap dapat menguasai hartanya. kebiasaan di atas dilarang melakukannya oleh ayat ini.
8 Mohammad Haekal, Sejarah Nabi Muhammad,http/ Fajar Ibrahim.dot.com
Masalah ini, masalah kebolehan poligami dengan perhatian dan kehati-hatian sebagaimana ditetapkan oleh islam ada baiknya dibahas lebih jelas dan pasti, dan ada baiknya pula diketahui kondisi riil yang melingkupinya pada saat disyariatkannya.9
Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya bahwa Ghailan bin Salamah masuk Islam sedang dia mempunyai sepuluh orang istri, lalu Nabi bersabda kepadanyua,
“Pilihlah empat orang diantara mereka.”
Imam Abu Daud meriwayatkan dengan isnadnya bahwa Umairah al-Asadi berkata, ”Saya masuk Islam, sedang saya mempunyai delapan orang istri. Lalu saya ceritakan hal itu kepada Nabi, kemudian beliau bersabda, “Pilihlah empat orang dari mereka.”
Kalau begitu, ketika Islam datang sudah ada beberapa orang lelaki yang punya sepuluh orang istri bahkan lebih banyak dengan jumlah yang tak terbatas. Kemudian Islam datang untuk mengatakan kepada kaum lelaki, bahwa “terdapat batas yang tidak boleh dilanggar oleh seorang muslim yaitu empat orang istri dan terdapat persyaratan untuk dapat berlaku adil, maka nikahlah dengan seorang wanita saja, atau dengan budak wanitamu.”
Islam datang bukan untuk memberikan kebebasan, melainkan untuk membatasi. Bukan untuk membiarkan kaum lelaki memperturutkan hawa nafsunya, tetapi untuk mengikat poligami ini dengan syarat adil. Kalau tidak mampu berlaku adil maka tidak diberikan rukhsah ini kepada yang bersangkutan.10
Akan tetapi mengapa Islam memberikan rukshah ini?
Pertama, jika kita lihat bahwa di sana terdapat bermacam-macam kondisi riil dalam masyarakat yang beraneka ragam, baik dalam sejarah maupun dalam kondisi sekarangnya. Saat itu dan kini semakin bertambah jumlah kaum wanita yang sudah layak nikah, yang melebihi jumlah lelaki yang sudah layak nikah juga. Batasan tertinggi yang terjadi pada sebagaian masyarakat  ini dalam sejarahnya belum pernah melebihi empat banding satu.
Kedua, kita melihat masa subur seorang laki-laki hingga usia tujuh puluh tahun atau lebih, sementara wanita sudah berhenti masa suburnya pada usia limapuluh tahun. Maka terdapat tenggang waktu duapuluh tahun masa subur dalam kehidupan laki-laki yang tidak diimbangi dengan masa subur kehidupan wanita.
9 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Dzilalil Quran Jilid 8, Gema Insani, Jakarta 2004, Hal 274
10 ibid
Maka rukshah ini sesuai dengan realitas kehidupan manusia dengan kondisi praktis yang melingkupinya. Ikatan atau syarat ini akan melindungi kehidupan suami-istri dari kehancuran dan kerusakan, melindungi istri dari penganiyaan dan kezaliman dan menjamin keadilan di dalam menghadapi tuntutan kebutuhan yang vital.
B. WANITA-WANITA YANG HARAM DINIKAH       
a. Ibu tiri
Surat an-Nisa 4 : 22
 “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang Telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang Telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”
Dari hikmah pengharaman ini tampak tiga hal meskipun kita tidak mengetahui secara keseluruhan hikmah tasyri “pensyariatan hokum”. Cukuplah Allah yang telah mensyariatkannya, agar kita yakin bahwa di belakangnya terdapat hikmah dan di dalamnya terdapat maslahat.11
Ø                   Pertama, istri ayah berkedudukan sebagai ibu.
Ø                   Kedua, agar jangan seorang anak menggatikan posisi ayahnya, sehingga ia mengkhayalkan sebagai tandingannya. Secara naluriah, kebanyakan seorang suami tidak suka kepada bekas suami istrinya, sehingga sianak akan menbenci ayahnya.
Ø                   Ketiga, supaya tidak terjadi kesamaran dalam masalah kewarisan bagi istri ayah.
12 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Dzilalil Quran Jilid 8, Gema Insani, Jakarta 2004, Hal 274
13 Mohammad Haekal, Sejarah Nabi Muhammad, http/ Fajar Ibrahim.dot.com.
c. Wanita yang bersuami
surat An-Nisa : 24
 “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah Telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang Telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah Mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu Telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S 4:24)
14  Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar Jilid 2, Pustaka Nasional, Jakarta 2004, Hal-1157
15 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Dzilalil Quran Jilid 8, Gema Insani, Jakarta 2004, Hal 309
d. Wanita Musyrik
Surat Al-Baqarah : 221
 “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (Q.S 2:221)
e. Wanita dalam masa ‘iddah
Surat Al-Baqarah : 235
235.  Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu[148] dengan sindiran[149] atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf[150]. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan Ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan Ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.

[148]  yang suaminya Telah meninggal dan masih dalam 'iddah.
[149]  wanita yang boleh dipinang secara sindiran ialah wanita yang dalam 'iddah Karena meninggal suaminya, atau Karena Talak bain, sedang wanita yang dalam 'iddah Talak raji'i tidak boleh dipinang walaupun dengan sindiran.
[150]  perkataan sindiran yang baik.

1 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Dzilalil Quran Jilid 8, Gema Insani, Jakarta 2004, Hal 237
2 ibid, hal 238



Boleh dicopy..tapi PRESENTASINYA, yang OKE !!




Tidak ada komentar:

Posting Komentar